Bank di Indonesia Masih Kurang Peduli terhadap Isu Sosial dan Lingkungan Hidup!

11 Maret 2015

Siaran Pers - Kumpulan berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia yang bernama Koalisi Responsibank Indonesia telah melakukan penilaian terhadap sejumlah kebijakan investasi 11 bank terbesar di Indonesia, yang terdiri dari 8 bank nasional dan 3 bank asing terbesar. Koalisi ini, terdiri dari Perkumpulan PRAKARSA, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, ICW (Indonesian Corruption Watch) dan INFID (International NGO Forum for Indonesian Development).

Penilaian ini menghasilkan pemeringkatan bank berdasarkan unsur-unsur sosial dan lingkungan hidup dalam kebijakan investasi yang mereka publikasikan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa, baik bank asing maupun nasional, masih kurang peduli terhadap isu sosial dan lingkungan hidup. Pemeringkatan menghasilkan skor “cukup” atau “sangat kurang”. Bank-bank asing mendapatkan skor sedikit lebih baik dari bank nasional, yaitu antara 2 sampai  4 dan perbankan nasional mendapatkan skor di 0 - 2 dalam skala yang sama yaitu dari skala 1 - 10. Koalisi sangat prihatin atas hasil pemeringkatan ini yang menunjukkan bahwa bank masih hanya mengedepankan aspek bisnis-keuangan saja dan masih mengabaikan permasalahan sosial dan lingkungan hidup dalam kebijakan kredit dan investasinya.

Menurut peringkat Responsibank, urutan pertama dari kesebelas bank yang dinilai adalah HSBC, dengan skor akhir 4, diikuti 2 bank asing lainnya yaitu Citibank dan Mitsubishi-UFJ. Sedangkan bank nasional terbaik adalah BNI dan Danamon dengan skor 1, dan berada di peringkat ke-4 dan 5 dari 11 bank yang dinilai. Bank-bank nasional lainnya tidak mendapatkan nilai sama sekali karena skor akhir lebih kecil dari 0,5.Peringkat buncit ditempati BCA, bank swasta terbesar di Indonesia, dan Bank Panin, yang masing-masing hanya memperoleh nilai 0,14 dan 0,08 dari skala 1 -10. Dengan hasil ini, rerata nilai bank-bank di Indonesia adalah yang terburuk di antara 7 negara (Brazil, Belgia, Perancis, Jepang, Belanda, dan Swedia) yang sama-sama menjalankan inisiatif Fair Finance Guide International.

“Meskipun beberapa bank hanya beroperasi di Indonesia, itu tidak berarti kita harus mentolerir standar yang lebih rendah bagi bank dalam pembiayaan proyek dan perusahaan yang berisiko tinggi terhadap terjadinyapelanggaran hak asasi manusia, menyebabkan konflik sosial maupun degradasi lingkungan. Dalam dunia yang saling kait mengait dan bergerak menuju ekonomi hijau, argumen seperti orientasi pasar domestik tidak lagi dapat diterima", ujar Victoria Fanggidae, perwakilan Koalisi Responsibank Indonesia yang sehari-hari bekerja di Perkumpulan Prakarsa sebagai peneliti senior ini.

Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI juga menegaskan, “Bank merupakan penopang penting ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Degradasi lingkungan, deforestasi, dan hilangnya hak rakyat atas wilayah kelola akibat praktik indusrti ekstraktif mesti dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari investasi modal bank. Tidak hanya di proses awal investasi, bank mesti lebih tegas mengambil kebijakan dan memastikan tanggung jawab atas praktik buruk korporasi yang disokongnya. Korelasi antara investasi dari bank dan praktik buruk korporasi mesti menjadi perhatian pemerintah dalam menerapkan kebijakan untuk menekan dampak buruk dan kerugian akibat pengembangan investasi di Indonesia, khususnya sektor ekstraksi sumber daya alam.”

Senada dengan itu, Mouna Wasef, penggiat anti korupsi dari ICW mengatakan bahwa peran bank yang sangat dominan dalam perekonomian Indonesia,yaitu sekitar 77 persen dari aset ekonomi nasional, menyebabkan sebagian besar pendanaan perekonomian Indonesia didominasi perbankan, begitu pula halnya untuk pembiayaan industri yang bergerak disektor sumber daya alam seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, pembangkit listrik dan sebagainya. “Prospek bisnis yang menarik mendorong perbankan aktif memberikan pinjaman di sektor-sektor ini. Namun sektor-sektor ini rawan akan korupsi dan praktek pengemplanganpajak yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Untuk itu bank selaku lembaga intermediasi keuangan perlu lebih meningkatkan standar dalam kebijakannya sehingga mempersempit peluang diberikannya pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kejahatan lingkungan, korupsi dan pengemplangan pajak, karena ini juga berpotensi berisiko terhadap reputasi bank sendiri”, tandas Mouna lagi.

Walaupun hasilnya mengecewakan, bank-bank ini, terutama bank-bank nasional, masih dapat terus 'bertanding menjadi lebih baik' atau ‘race to the top’. Ini adalah penilaian tahun pertama dan bank  dapat memperbaiki peringkatnya ditahun berikutnya dengan menambahkan lebih banyak unsur yang diakui oleh masyarakat internasional dalam prinsip dan standar internasional seperti Prinsip Equator, UN Global Compact, Standar Kinerja IFC, Pedoman Bisnis dan Hak Asasi Manusia PBB dan lain-lain, dalam kebijakan investasi mereka, dan mempublikasikannya.
“Dengan memperbaiki kebijakannya, bank dapat mengejar ketinggalan dan menunjukkan diri di hadapan komunitas global bahwa dunia perbankan Indonesia dapat melakukan bisnis dengan baik danbertanggung jawab secara sosial dan lingkungan hidup. Prinsippeople, planet dan profit, atau triple bottom line, dan bukan hanya profit, kini tak terelakkan bagi dunia bisnis di seluruh dunia. Industri perbankan kita tidak kebal terhadap itu, perbankan Indonesia harus bergerak maju agar tidak ditinggalkan nasabah" tutup Huzna Zahir, anggota Koalisi Responsibank Indonesia dari YLKI ini.

Untuk komunikasi lebih lanjut, sila hubungi:

Victoria Fanggidae

:

+62 81338734774 (HP); vfanggidae@theprakarsa.org (email)

 

Sri Ranti

:

+62 813 5262 6692 (HP); sranti@theprakarsa.org (email)

 

 

Sekretariat Koalisi ResponsiBank Indonesia :

Perkumpulan Prakarsa, Komplek Rawa Bambu I Blok A No 8-E Pasar Minggu Jakarta Selatan, (021) 7811 897.