Data Nasabah Sering Bocor, Bank Harus Serius Lindungi Konsumen

11 Juni 2015

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih menggodok rancangan undang-undang (RUU) perbankan yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Aspek perlindungan konsumen harus masuk ke dalam RUU ini.

Koordinator Sekretariat ResponsiBank Indonesia, Akbar Ali, mengatakan selama ini konsumen bank alias nasabah kurang mendapat perlindungan, terutama dari kerahasiaan data.

"Konsumen selama ini disebut nasabah, namun punya hak juga yang diatur YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sebagai konsumen. Salah satu kasus yang masih terjadi adalah kebocoran data ke pihak lain," katanya dalam diskusi di Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2015).

Salah satu yang sempat heboh adalah jual-beli data nasabah kartu kredit. Sesama tenaga pemasar (marketing) biasanya saling menawarkan data nasabah, terutama nasabah yang punya kekayaan cukup besar.

Selain itu, kata Akbar, aspek sosial lingkungan juga perlu masuk dalam RUU perbankan. Menurutnya, perbankan dalam negeri harus punya dan menerapkan prinsip-prinsip analisis dampak lingkungan (AMDAL).

"Ketiga adalah financial inclution (inklusi finansial). Sektor UKM alokasinya masih sangat kecil, kita harus dorong agar alokasinya lebih besar. Lalu keempat, transparansi dan akuntabilitas," ujarnya.

Indonesia termasuk satu dari 7 negara yang diriset oleh Fair Finance Guideline Internasional. Sebab, kata Akbar, perbankan Indonesia dinilai lebih terbuka untuk menyampaikan laporan keuangannya.

 
"Padahal ada Jepang dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara yang baik. Padahal di Asia Tenggara pun ada Singapura yang lebih maju," ujarnya.

"Ke depan, terkait Asean Economic Community, Indonesia bisa jadi pioneer dalam penilaian dan pemeringkatan bank berdasarkan akuntabilitas dan transparansinya," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa dan Perwakilan Responsibank Indonesia, Setyo Budiarso mengatakan, studi yang dilakukan Fair Finance Guideline Internasional ini direspons baik di Belanda.

"Karena para nasabah atau konsumen ingin tahu, ke mana larinya uang yang mereka investasikan. Apakah dipakai untuk merusak lingkungan atau sebaliknya," kata Budiarso.

Selain di Indonesia, studi Fair Finance Guideline Internasional juga dilakukan di enam negara lain, yaitu Belanda, Belgia, Brasil, Jepang, Prancis, dan Swedia. 
 
Sumber: detik.com