Perbankan diminta kurangi pembiayaan energi fosil

05 November 2015

Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat menjadi US$ 119 miliar dari sebelumnya US$ 95 miliar.

Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, atau naik hampir sepuluh kali lipat pada periode yang sama.

Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian Jaringan Fair Finance Guide International (FFGI) yang bertajuk "Hancurnya Masa Depan Kita." Dalam kajian tersebut, menyoroti pentingnya lembaga keuangan membuat komitmen untuk mengurangi dampak negatif investasi yang mereka lakukan terhadap perubahan iklim.

Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa mengatakan, penelitian tersebut dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan di 75 lembaga keuangan terhadap sektor bahan bakar fosil (batubara dan migas) dan perusahaan peralatan energi terbarukan (solar panel, pembangkit listrik tenaga surya, turbin angin, turbin listrik, dan rekayasa panas bumi).

Penelitian ini dilakukan pada proyek energi terbarukan dan perusahaan utilitas yang berada di delapan negara koalisi FFGI.

Sedangkan di Indonesia, penelitian dilakukan terhadap 11 lembaga keuangan. Mulai dari Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA, Bank Danamon, dan Bank Panin. Juga, delapan perusahaan yang bergerak di sektor tambang batubara dan utilitas.

Meski demikian, walaupun sudah ada bank yang mengurangi proporsi pembiayaan bahan bakar fosil, seperti UFJ Mitsubishi, namun pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling masih paling besar.

"Sementara, batubara dan minyak bumi masih lebih tinggi. CIMB Niaga dan Bank Panin misalnya, mereka masih 100% investasi di bahan bakar fosil. Bank Mandiri masih 99%, sedangkan BRI dan BCA masih 98%," terang Rotua, Kamis (5/11).

Ia menjelaskan, sebenarnya penggunaan bahan bakar fosil sudah mulai ditinggalkan. Misalnya saja Amerika Serikat semasa pemerintahan Barack Obama telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Tiongkok juga demikian, sehingga Indonesia kini jadi incaran penjual teknologi batubara. Padahal, teknologinya adalah teknologi kotor.

"Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya menghentikan dukungan investasinya terhadap batubara," sahut Pius Ginting, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

 

Sumber: Kontan