Pelanggaran Hak Buruh Perkebunan Sawit: Studi Kasus di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah

Pelanggaran Hak Buruh Perkebunan Sawit: Studi Kasus di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah

Jumlah pekerja atau buruh di sektor perkebunan sawit sangat besar, jika perusahaan sawit menerapkan praktik bisnis yang responsif terhadap isu sosial termasuk ketenagakerjaan dan lingkungan hidup, maka industri sawit dapat berkontribusi terhadap peningkatan kondisi ekonomi Indonesia secara lebih baik dan berkelanjutan. Namun demikian, situasi di lapangan seringkali berbeda. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) terdapat 281 juta pekerja yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang seperti Cina, India, Malaysia, dan Thailand. Di Indonesia sendiri, terdapat 16 juta pekerja dalam rantai pasok sawit, di mana 3,78 juta di antaranya adalah pekerja perkebunan.

Praktik bisnis sawit tentunya tidak dapat dilepaskan dari dukungan pembiayaan atau investasi, sehingga institusi keuangan atau investor memiliki keterkaitan dan turut bertanggung jawab atas praktik bisnis yang didanai, dak terkecuali industri sawit. Dalam konteks ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Buku Kredit/Pembiayaan Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit (2019) dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman industri perbankan/keuangan terhadap proses bisnis kelapa sawit, sehingga diharapkan penyaluran kredit/pembiayaan di industri kelapa sawit dapat berjalan dengan risiko rendah dan memperhakan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) yang baik. Aspek perlindungan terhadap pekerja sawit mendapat pengaturan dalam buku panduan tersebut, namun masih banyak perbankan dan lembaga keuangan yang memberikan kredit kepada perusahaan sawit tanpa mempertimbangkan praktik perusahaan sawit yang abai terhadap pekerjanya.

Meksipun permasalah ketenagakerjaan selalu muncul dari waktu ke waktu, lembaga keuangan atau perbankan dalam dan luar negeri masih belum konsen terhadap isu perlindungan pekerja industri sawit dalam proses pengucuran kreditnya. Lembaga keuangan papan atas dunia seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Cigroup, HSBC dan Vanguard Group terus menggelontorkan investasinya ke perusahaan sawit sehingga produksi sawit meledak secara global dari hanya 5 juta ton pada tahun 1999 menjadi 72 juta ton pada 2020. Bahkan AS mencatat telah terjadinya lonjakan permintaan 900 persen selama 7 dekade terakhir (AP 2020).

Studi ini bertujuan untuk melihat secara lebih dekat, persoalan-persoalan yang terjadi pada pekerja buruh khususnya di kawasan perkebunan sawit Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Selain itu, studi ini juga berupaya melacak aliran keuangan pada perusahaan yang menjadi obyek studi sebagai studi kasus yang dapat melengkapi asesmen pemeringkatan bank yang selama ini dilakukan Responsibank Indonesia. Harapannya, studi ini akan menjadi salah satu evidences bagi pemangku kebijakan, pelaku usaha di sektor sawit dan organisasi buruh sawit untuk melakukan langkah-langkah bersama memperbaiki kondisi pekerja atau buruh di sektor perkebunan sawit.

Versi Bahasa Indonesia >> klik disini
English Version >> click here

Ketimpangan Relasi Petani Inti-Plasma dan Perusahaan Sawit di Sulawesi Tengah

Ketimpangan Relasi Petani Inti-Plasma dan Perusahaan Sawit di Sulawesi Tengah

Harga minyak sawit terus meroket di tengah pandemi!
Apakah negara diuntungkan? 35% dari produksi sawit nasional ini ternyata berasal dari perkebunan sawit rakyat loh. Artinya petani sawit skala kecil juga mendapat keuntungan?

Tapi penelitian PRAKARSA menyebutkan bahwa masih banyak permasalahan terjadi di sektor sawit. Aliran keuangan gelap sebesar 40,47 miliar USD berasal dari sektor sawit. Permasalahan lingkungan dan sosial juga terus terjadi berulang.

Studi terbaru Responsibank Indonesia tentang relasi petani dan perusahaan sawit di Sulawesi Tengah menemukan petani sawit skala kecil terjebak dalam tata kelola kaptif atau tawanan yang diterapkan perusahaan. Tentu saja ini berimplikasi pada rendahnya pendapatan petani. Studi ini menemukan ada petani yang pendapatannya hanya Rp 50 ribu rupiah per bulan!

Di balik praktik perusahaan yang nakal semacam ini, ada peran lembaga keuangan yang memberikan kredit dan investasi. Studi ini menemukan bank yang terlibat pada pembiayaan sawit di Sulawesi Tengah cukup banyak terutama berasal dari Jepang. Bahkan bank plat merah, yaitu Bank Mandiri dan salah satu bank swasta, yaitu Bank Panin juga terlibat.

Nah, seperti apakah pola tata kelola tawanan yang menjerat petani sawit di Sulawesi Tengah? Rekomendasi kebijakan seperti apa yang diperlukan untuk membenahi permasalahan ini, baik dari sisi perusahaan, pemerintah maupun lembaga keuangan pemberi modal dan investasi?

Unduh laporan lengkap "Ketimpangan Relasi Petani Inti-Plasma dan Perusahaan Sawit di Sulawesi Tengah" 

Versi Bahasa Indonesia >> klik disini
English Version >> click here

A future without coal Banking on Asia’s just energy transition

A future without coal Banking on Asia’s just energy transition

Fair Finance Asia’s latest study reveals continued growth in Asia’s coal sector even after the signing of the Paris Agreement in 2015 due to financing by banks and investors operating in the region.

In the past five years (2016–2020) since the signing of the Paris Agreement, financial institutions operating in key Asian countries identified in Fair Finance Asia’s latest study have provided USD 683 billion in loans and underwriting services to companies active in coal mining and coal-fired power operations in the region. The biggest investors in the coal sector, based on the study, are Japan’s Government Pension Investment Fund, India’s Life Insurance Corporation, US asset managers BlackRock and Vanguard, and Malaysian investors Khazanah Nasional, PNB and EPF.

Coal accounts for 74% of all electricity produced in India, 66% in China, 59% in Indonesia, 52% in the Philippines, 47% in Vietnam, and between 1% and 45% in the other eight Asian countries covered in Fair Finance Asia’s (FFA) new study in collaboration with Profundo, which focuses on the region’s linchpin nations for just energy transition. Together, these 13 countries continue to finance, operate, and develop new coal-fired power projects with approximate life cycles of 35 to 40 years, effectively derailing Asia from aligning with the IPCC’s 1.5 degrees Celsius scenario.

A vision of a different energy future in Asia is urgently needed. However, simply replacing coal with renewable energy is not necessarily a straightforward solution, particularly if such a drastic shift causes increased injustices in other parts of the regional and global energy system. Therefore, this study highlights the Fair Finance Asia network’s call for:

1. The Asian financial sector to urgently stop coal finance domestically and overseas.
2. Asian leaders to focus on implementing time-bound, just energy transition strategies that respect the rights and active participation of communities in the planning of large energy projects; protect the rights of workers by mainstreaming Human Rights Due Diligence (HRDD) during the energy transition; and safeguard the health, livelihoods, culture and heritage of communities.
3. Civil society across Asia and globally to work more collaboratively together in monitoring the progress of the commitments and initiatives by the financial sector in phasing out fossil fuels and moving towards a just and equitable transition that leaves no one behind.

Commenting on the study, Bernadette Victorio, Program Lead of Fair Finance Asia, says, “Just transition should be a fair and equitable process that leaves no one behind. It’s disappointing that many Asian nations are not stepping up their commitments at COP26, and the lack of urgency to act is alarming especially for a region most at risk of the negative socio-environmental impacts of climate change. At the G20 level, there is already an established Sustainable Finance Working Group co-chaired by China, Indonesia and India take successive Presidencies in 2022 and 2023 respectively, and Japan takes G7 Presidency in 2023 – Asia has a real opportunity to influence global leadership for swift change in these coming years, and as civil society we have to work together to hold them accountable.

Read the full report here

Keterkaitan Perbankan dalam Perkebunan Sawit PT. Wira Mas Permai (Sulawesi Tengah)

Masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah, khususnya di Sulawesi Tengah ini telah menimbulkan banyak pro dan kontra. Ditengarai banyak terjadi kerusakan lingkungan dan perampasan tanah, serta pelanggaran terhadap hak-hak petani dan buruh di perkebunan sawit yang kerap terpinggirkan karena kurangnya pemahaman mereka. Ekspansi suatu perusahaan tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan sector finansial terutama kelompok perbankan dalam mendukung investasi perkebunan sawit. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dalam hal lingkungan hidup dan sosial serta mengetahui seperti apa dukungan investasi perbankan terhadap ekspansi bisnis perusahaan sawit. Penelitian ini dinilai penting karena investasi eksternal dan dari perbankan khususnya merupakan urat nadi dari perusahaan, sehingga untuk memutus mata rantai kehidupan perusahaan-perusahaan bermasalah, perlu diketahui darimana aliran dana mereka berasal.

Unduh laporan lengkap studi kasus Keterkaitan Perbankan dalam Perkebunan Sawit PT. Wira Mas Permai (Sulawesi Tengah) di sini

Cek skor Bank Anda dalam tema ini

Terimakasih telah berbagi

Pesan anda telah terkirim

×