Kredit Properti I Bahaya, Kredit Konsumer Sudah Mencapai Rp1.000 Triliun | BI-OJK Mesti Hindari Kerancuan Wewenang

25 April 2015

JAKARTA – Keinginan Oto­ritas Jasa Keuangan (OJK) me­longgarkan ketentuan pembatas­an besaran kredit (loan-to-value/LTV) kredit properti dan oto­motif dinilai merupakan upaya “intervensi” OJK terhadap Bank Indonesia (BI). Hal itu juga mengindikasikan munculnya dualisme kewenangan antara kedua lembaga itu dalam meng­atur sektor perbankan.

Oleh karena itu, sejumlah kalangan meminta BI ber­hati-hati menyikapi keinginan OJK tersebut, terutama pada rencana melonggarkan keten­tuan uang muka untuk kredit properti. Pasalnya, dalam si­tuasi pasar yang mengalami kelebihan pasokan, khususnya di segmen menengah ke atas seperti saat ini, kebijakan itu akan memicu jor-joran kredit properti dan akan lebih banyak menguntungkan pengusaha properti kelas atas.

Padahal seperti dikabarkan, harga segmen properti mene­ngah ke atas di Indonesia lebih banyak dimainkan oleh speku­lan sehingga menimbulkan bubble property. Sepanjang 2012-2013, BI mencermati ada lebih dari 35 ribu debitor yang memiliki Kredit Pemilikan Ru­mah (KPR) lebih dari satu ru­mah. Mayoritas debitor inilah diduga sebagai spekulan yang menggelembungkan harga.

Direktur Perkumpulan Pra­karsa, Setyo Budiantoro, ke­tika dihubungi, Jumat (24/4), mengingatkan dalam sejarah perekonomian, bubble prop­erty kerap menjadi pemicu krisis ekonomi, seperti yang terjadi di Indonesia pada kri­sis 1997/1998. Dan keputusan BI mematok LTV sebesar 70 persen pada 2013 adalah ke­putusan tepat dan harus terus dilanjutkan sampai ada pem­benahan serius dalam peng­ucuran kredit properti.

Ia mengungkapkan kredit properti kelas menengah atas di kota-kota besar seperti Jakar­ta, jelas-jelas dijadikan ajang spekulasi yang bahkan meli­batkan insider trading atau pe­ran orang dalam, yakni pembeli pertama adalah kelompok yang sama dengan developernya.

“Kemudian mereka meng­gunakan strategi pemasaran dengan iklan gila-gilaan hingga seminggu. Dalam sebulan, harga properti tersebut bisa naik 10-20 persen,” papar dia.

Makanya, lanjut Setyo, ba­nyak apartemen di Jakarta yang tak berpenghuni. Ini mencer­minkan propert bukan lagi sebu­ah kebutuhan dasar melainkan sebuah permianan spekulasi.

“Sayangnya dampak dari itu semua sangat besar bagi perekonomian. Begitu terjadi kontraksi ekonomi, properti yang kena pertama kali, dan ka­lau dana bank begitu banyak di sana, pada akhirnya rakyat yang harus menalangi,” kata Setyo.

Sebelumnya, pengamat eko­nomi dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengung­kapkan secara keseluruhan kredit konsumsi yang disalur­kan bank-bank umum sudah sangat tinggi karena mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah.

“Ini sudah mengkhawatir­kan, karena kredit perbankan tersalur ke kegiatan yang tidak produktif. Kondisi ini pula yang menyebabkan BI meningkat­kan kehati-hatian dalam pe­nyaluran kredit, terutama di sektor properti,” papar dia.

Salamuddin juga menilai munculnya “intervensi” OJK pada kebijakan BI menggam­barkan ruwetnya pembagian kewenangan dan kewajiban antara BI dan OJK. Kondisi itu, kata dia, sesuai dengan peng­akuan BI saat sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Ta­hun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) di Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi.

“Perbanas pun mengakui adanya kekacaun akibat dual­ism BI-OJK, karena dua-dua­nya sama-sama menentukan nasib perbankan. Maka kebi­jakan penurunan LTV properti ini jelas akan memantik pole­mik. Dan, yang utama dari pro­tes pada OJK karena ada risiko besar yang harus ditanggung perbankan dan konsumen,” ungkap Salamuddin.

 Berjalan Efektif

 Dari Surabaya, pengamat ekonomi dari Universitas Air­langga, Imron Mawardi, me­ngatakan saat ini kebijakan LTV yang mengatur uang muka pembelian rumah telah ber­jalan efektif dalam mensta­bilkan pasar properti dengan membatasi ruang gerak speku­lan properti.

“Kebijakan BI tersebut su­dah cukup mampu menekan aksi spekulasi pengembang. Kebijakan itu juga membantu pemerintah dan BI menganti­sipasi terjadinya bubble prop­erty,” katanya.

LTV untuk bank konvensio­nal mulai berlaku pada 2012. Saat itu, BI menetapkan ba­tasan kredit yang diberikan perbankan menjadi 70 persen dari total transaksi. Selanjutnya pada akhir 2013, bank sentral kembali memperketat aturan ini, terutama untuk sektor pro­perti. Pengetatan dilakukan ka­rena pertumbuhan permintan properti mulai mengakibatkan kenaikan harga yang tak wajar. Saat itu, BI menerapkan ba­tasan kredit pada rumah kedua sebesar 60 persen dan rumah ketiga sebesar 50 persen.

Imron kemudian menyon­tohkan Tiongkok yang sangat antisipatif dengan ancaman bubble property. “Tiongkok itu juga didesak oleh para pe­ngembang untuk melonggar­kan kebijakan propertinya. Tapi, karena otoritas keuangan di sana konsisten dan ketat, Tiongkok masih berusaha un­tuk bisa lepas dari ancaman bubble property,” ujar dia.

 

sumber : koran-jakarta.com