Perbankan Tak Punya Komitmen Investasi Berkelanjutan

05 November 2015

Dalam kurun waktu 2004 sampai 2014, total pinjaman dan penjaminan dari sektor lembaga keuangan untuk sektor energi terbarukan meningkat jadi US$ 119 miliar, dari lima tahun sebelumnya sebesar US$ 95 miliar. Namun, jumlah tersebut tidak sebanding dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang mencapai US$ 1.023 miliar, naik hampir 10 kali lipat. Ini merupakan angka akumulasi pengeluaran dana seluruh negara di dunia.

“Bank tidak punya komitmen untuk mendorong investasi berkelanjutan. Bahkan investasi untuk energi terbarukan tidak melebihi 10%,” kata Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa di Jakarta, kemarin.

Berdasarkan penelitian Fair Finance Guide International (FFGI) terhadap 10 lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia seperti Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA dan Bank Panin. Dari 10 lembaga keuangan, 8 diantaranya membiayai bahan bakar fosil di atas 90%.

“Pinjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar paling polutif seperti batu bara dan minyak bumi jauh lebih tinggi. CIMB Niaga dan Bank Panin misalnya, mereka masih 100% investasi di bahan bakar fosil. Sedangkan Bank Mandiri 99% dan BRI serta BCA masih 98% untuk investasi energi fosil,” ujar Rotua.

Untuk energi terbarukan, lanjut dia, hanya UFJ Mitsubishi yang memiliki pembiayaan lebih dari 1 miliar dolar. Sedangkan, HSBC sebagai lembaga keuangan terbesar untuk sektor bahan bakar fosil, hanya memiliki investasi tahunan sebesar 99 juta dolar di sektor energi terbarukan, kata Rotua.

Pius Ginting, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, penggunaan bahan bakar fosil sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat semasa pemerintahan Barack Obama telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Bahkan ke depan, uang publik tidak boleh digunakan untuk pembiayaan PLTU. Ini kebijakan yang bagus.

Tiongkok juga demikian, sudah melarang pembangunan PLTU baru. Hal ini menyebabkan Indonesia sebagai incaran penjual teknologi batubara. Padahal, teknologinya adalah teknologi kotor.

“Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dalam dan luar negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batu bara,” kata Pius

Karena itu, Walhi berharap lembaga keuangan jangan hanya membuat komitmen tanpa makna. Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi hijau dan produk berkelanjutan kepada konsumen. Namun, di sisi lain mereka juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. “Its’ green washing!,” tegas Pius.

 

Sumber: Geotimes