Bank Diminta Hentikan Dukungan Terhadap Investasi Batubara

06 November 2015

Dalam satu dekade ini, total dukungan bank dan finasial terhadap investasi batu bara mengalami peningkatan. Tak tanggung-tanggung, pinjaman maupun penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil itu naik hampir sepuluh kali lipat disbanding nilai yang diberikan untuk investasi energi baru terbarukan (EBT). Sepanjang 2004-2014, investasi EBT hanya mendapat dukungan hampir AS$120 miliar. Sedangkan energi fosil mengumpulkan lebih dari AS$1000 miliar.

Jumlah tersebut merupakan hasil dari penelitian Jaringan Fair Finance Guide International (FFGI) terhadap pembiayaan bank dan lembaga keungan bagi sektor energi. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan 75 lembaga keuangan. Lembaga-lembaga itu, disoroti dalam pembiayaan terhadap sektor bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas (migas), perusahaan energi terbarukan seperti solar panel, pembangkit listrik tenaga surya, turbin angin, dan rekayasa panas bumi.

Di Indonesia, penelitian ini hanya dilakukan terhadap 11 lembaga keuangan. Mulai dari Citibank, UFJ Mitsubishi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA, Bank Danamon, dan Bank Panin. Selain itu, ada pula delapan perusahaan yang bergerak di sektor tambang batubara dan utilitas yang menjadi objek penelitian.

Sustainable Development Officer dari Perkumpulan Prakarsa, Rotua Tampubolon, mengatakan penelitian tersebut memang dilakukan untuk menyoroti pentingnya lembaga keuangan membuat komitmen untuk mengurangi dampak negatif investasi yang mereka lakukan terhadap perubahan iklim. Pasalnya, berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan FFGI pada tahun 2012 lalu, sebesar 81% dari seluruh emisi gas rumah kaca global disumbangkan oleh CO2, yang notabenenya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, gas alam dan minyak.

“Kalau tidak ada perubahaan dalam penggunaan bahan bakar fosil tersebut, bumi akan menghadapi risiko kenaikan suhu. Situasi ini diramalkan berdampak pada negara-negara miskin yang berisiko kekurangan pangan dan air,” tandas Rotua, Kamis (5/11).

Rotua menilai bahwa selama ini dukungan investasi terhadap bahan bakar polutif dari bank masih cukup tinggi. Menurutnya, hal tersebut terbukti dengan hasil penelitian yang memperlihatkan masih banyak bank besar menginvestasikan uangnya untuk bahan bakar posil. Dari hasil penelitian FFGI, diketahui bahwa CIMB Niaga dan Bank Panin masih menginvestasikan semua uangnya untuk bahan bakar fosil. Sementara itu, prosentase investasi Bank Mandiri untuk energi fosil sebesar 99%. Bank BCA dan Bank BRI masing-masing memberikan investasi senilai 98%.

Sementara itu, ada pula bank yang telah mengurangi proporsi pembiayaan bahan bakar fosil. Penelitian FFGI menyebutkan, Bank UFJ Mitsubishi kini hanya menginvestasikan 8% uangnya untuk energi fosil. Hanya saja, menurut Rotua peminaman dan penjaminan bank tersbeut untuk bahan bakar lain yang juga polutif masih tinggi.

Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menambahkan, sebenarnya penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara sebenarnya sudah mulai ditinggalkan masyarakat dunia. Ia mencontohkan, Amerika Serikat pada masa pemerintahaan Presiden Barack Obama, telah menutup sekitar 200 pembangkit listrik bertenaga batu bara. Selain itu, Cina pun telah mengurangi impor batu baranya.

Menurut Pius, kondisi tersebut menjadikan Indonesia saat ini sebagai incaran penjual teknologi batu bara. Padahal, menurutnya Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Ia pun berharap bank dan institusi finansial dalam negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batu bara.

Pius menambahkan, bahwa penghentian investasi untuk sektor energi fosil bukan komitmen tanpa makna yang dibuat oleh lembaga keuangan. Ia juga mengakui, benar adanya bahwa lembaga keuangan telah memulai memasarkan obligasi hijau dan produk-produk berkelanjutan kepada konsumen. Namun, menurutnya ketika lembaga keuangan masih juga terus meningkatkan pembiayaan bahan bakar fosil maka hal itu tidak berarti banyak bagi lingkungan.

"Memang tidak serta merta kita bisa menyalahkan bank. Tapi bank punya andil untuk memberikan dorongan, bisa memainkan peran dalam pendanaan untuk tidak lagi bermain di industri ekstraktif, tapi lebih kepada energi terbarukan," pungkas Pius.

 

Sumber : Hukum Online