Perbankan Diminta Tingkatkan Pembiayaan ke Energi Terbarukan

05 November 2015

Selama rentang waktu 10 tahun terakhir, total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan di sektor energi terbarukan meningkat dari US$ 95 miliar pada 5 tahun pertama menjadi US$ 119 miliar pada lima tahun kedua. 

Namun, jumlah ini masih sangat tidak berarti dibandingkan dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang jumlahnya hampir 10 kali lipat yaitu sebesar US$ 1.023 miliar. 

Sustainable Development Officer dari Perkumpulan Prakarsa, Rotua Tampubolon menjelaskan hal ini didasarkan dari hasil penelitian bersama  oleh Jaringan Fair Finance Guide International (FFGI) yang bertajuk 'Hancurnya Masa Depan Kita'.

"Kajian ini menyoroti pentingnya lembaga keuangan membuat komitmen untuk meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif investasi mereka terhadap perubahan iklim," jelas Rotua dalam keterangan tertulis, Jumat (6/11/2015).

Laporan kajian ini diluncurkan sebulan menjelang pertemuan United Nations Climate Summit (COP21) di Paris pada bulan Desember 2015.  

Penelitian dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan 75 lembaga keuangan terhadap sektor bahan bakar fosil (batu bara dan minyak & gas), perusahaan peralatanenergi terbarukan (solar panel, pembangkit listrik tenaga surya, turbin angin, turbin listrik, dan rekayasa panas bumi), proyek-proyek energi terbarukan dan perusahaan utilitas, yang berada di 8 Negara Koalisi FFGI.

Di Indonesia, penelitian dilakukan terhadap 11 lembaga keuangan yakni Citibank, UFJ Mitsubshi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Mandiri, BCA, Danamon, Panin dan juga 8 perusahaan yang bergerak di sektor tambang batu bara serta utilitas. 

“Walaupun sudah ada bank yang mulai mengurangi proporsi pembiayaan bahan bakar fosil, seperti UFJ Mitsubishi, yang sudah mengurangi investasi sebesar 8 persen, tapi peminjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar yang paling polutif, seperti batu bara dan minyak bumi, masih jauh lebih tinggi," terang Rotua.

CIMB dan Panin misalnya, dikatakan Rotua, masih 100 persen berinvestasi di bahan bakar fosil. Bank jumbo lainnya seperti Mandiri masih 99 persen, sedangkan BRI dan BCA masing-masing masih 98 persen.

Sementara itu, Pius Ginting, Manajer Kajian dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) menambahkan penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat, dalam masa pemerintahan Obama misalnya, telah menutup sekitar 200 PLTU batubara.

Tiongkok juga telah mengurangi impor batu bara, sehingga, Indonesia sekarang menjadi incaran penjual teknologi batu bara, padahal teknologi tersebut adalah teknologi kotor. 

Dalam kondisi seperti ini, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Diharapkan seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dari dalam dan luar negeri menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batubara.

“Harapannya sih, lembaga keuangan jangan hanya membuat komitmen tanpa makna. Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi hijau dan produk-produk 'berkelanjutan' kepada konsumen, namun lembaga keuangan masih juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. It’s a greenwashing!” terang dia. 

 

Sumber: liputan6.com