ResponsiBank: Pembiayaan buat Industri Energi Fosil Melonjak, Inilah Bank Pendana Itu ...

12 November 2015

Instalasi turbin angin dan solar panel di Pantai Baru Poncosari Srandakan Bantul, berdaya 87 Kilo Watt. Indonesia kaya sumber energi terbarukan, tetapi minim pemanfaatan. Porsi terbesar, masih pada energi fosil. Foto: Tommy Apriando

Koalisi ResponsiBank merilis daftar perbankan yang berkontribusi besar dalam pembiayaan sektor industri bahan bakar fosil di Indonesia. Dalam riset ini ResponsiBank menyebut, selama 10 tahun terakhir, 2004-2014, total kredit dan penjaminan perusahaan pada energi terbarukan naik dari US$95 miliar menjadi US$119 miliar. Tetapi, jumlah ini kalah jauh dibandingkan pembiayaan buat energi fosil naik 10 kali lipat menjadi US$1.023 miliar.

“Penelitian dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan 75 lembaga keuangan terhadap sektor bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas. Juga terhadap perusahaan energi terbarukan seperti solar panel, listrik tenaga surya, turbin angin dan panas bumi,,” kata Koordinator Sektetariat ResponsiBank Rotua Nuraini Tampubolon di Jakarta, pekan lalu.

Penelitian dilakukan di delapan negara, yakni Indonesia, Swedia, Jepang, Belanda, Belgia, Brasil, Denmark dan Prancis dengan melihat 14.164 transaksi melibatkan 25 lembaga keuangan terbesar dunia. Dari sini terlihat, penyaluran dana untuk bahan bakar fosil US$1.854 miliar, energi terbarukan US$171 miliar.

Dia menyebutkan, Citigroup dan JPMorgan Chase menyediakan dana US$75 miliar untuk energi fosil, energi terbarukan hanya US$5 miliar.

Dari 25 lembaga keuangan terbesar dunia, hanya sembilan memberikan dana pada industri energi terbarukan, dengan jumlah tak ada melebihi US$8 miliar.

“Di Indonesia beberapa bank yang memberikan pembiayaan energi fosil, 11 bank diteliti. Citibank, Mitsubishi UFG, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Mandiri, BCA, Danamon dan Bank Panin,” katanya.

Perusahaan yang diteliti seperti Adaro, Borneo Lumbung Energi dan Metal, Bumi Resources, Indika dan Toba Bara. Sedang perusahaan utilitas yakni PLN, Paiton Energy dan CJP.

“Citigroup, Mitsubishi UFJ Financial dan HSBC menggelontorkan dana lebih US$40 miliar. Periode sama mereka hanya menyediakan US$5-8miliar untuk energi terbarukan.”

Untuk energi fosil BCA US$190 juta, energi terbarukan hanya US$3 juta. Bank Mandiri untuk bahan bakar fosil naik 283% dari US$143 juta menjadi US$547 juta. Untuk energi terbarukan naik US$1,4 juta menjadi US$6,4 juta.

Bank BNI memberikan 18% lebih banyak untuk energi fosil, energi terbarukan turun 8%. BRI untuk fosil naik 142% dan terbarukan naik 128% dari US$ 2,5 juta menjadi US$5,8 juta.

CIMB grup menurunkan 100% untuk energi terbarukan, fosil naik 102%. Bank Danamon tidak teridentifikasi pembiayaan pada perusahaan yang dijadikan obyek penelitian.

“Kita meminta lembaga keuangan komitmen pembiayaan energi terbarukan lebih besar. Juga menurunkan pembiayaan untuk energi fosil. Kami juga meminta mereka mempublikasikan laporan tahunan pembiayaan di sektor energi.”

Farhan Helmy, Kepala Sekolah Thamrin School mengatakan, bank hanya salah satu instrumen dalam mendorong proses transformasi. “Kalau dalam perundingan perubahan iklim, yang utama kita punya aksi mitigasi dan adaptasi, kapasitas dan teknologi juga pembiayaan.”

Pius Ginting dari Walhi Nasional mengatakan, kajian ResponsiBank membuka informasi bahwa energi fosil masih sangat dominan. Dia mengatakan, negara lain cenderung mengurangi penggunaan energi fosil.

Dia mencontohkan, pemerintahan Obama, Amerika Serikat menutup 200 PLTU. Ada kebijakan tak boleh menggunakan ruang publik untuk membiayai proyek PLTU batubara. China sudah membuat batas, emisi mereka maksimal 2030 terus menurun. Sekarang mereka membuat ancang-ancang di 12 provinsi tak boleh ada PLTU baru. Bukan hanya soal perubahan iklim, katanya, juga pencemaran udara parah.

Permintaan batubara global menurun. Kebijakan korporasi juga mengalihkan batubara dari luar ke dalam dan integrasi bisnis dari tambang batubara ke PLTU guna mengkompensasi penurunan ekspor. “Misal Adaro terlibat dalam membangun PLTU Batang. Kideco bersama Indika membangun PLTU di Cirebon.”

Sedang kecenderungan Indonesia, katanya, justru meningkatkan penggunakan batubara. Dalam Nawacita Presiden Joko Widodo, menyatakan, Indonesia akan memanfaatkan batubara untuk kebutuhan dalam negeri. “Niatnya baik untuk kedaulatan energi, tetapi kurang dalam pertimbangan aspek ekologi dan perubahan iklim.”

Dia juga menyoroti investasi Jepang, sebagai pemain utama investasi PLTU. Jepang nomor dua investasi fosil di Indonesia, dengan nilai US$53,7 miliar.

“Apa yang mereka lakukan di Jepang sama dengan di Indonesia. Ini berarti Indonesia sedemikian penting dalam investasi bahan bakar fosil terutama PLTU. Karena ia terlibat di Paiton, Cirebon, Jepara, Batang.”

Deputi Direktur Departemen Penelitian dan Regulasi Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Edi Setijawan mengatakan, transisi pembiayaan perbankan di energi fosil tak bisa sekaligus dialihkan ke energi terbarukan.

“OJK sudah memiliki skema bagaimana mendorong perbankan lebih sadar finansial berkelanjutan. Ini berkaitan dengan pertemuan di Paris awal Desember 2015. Kami mendorong lembaga keuangan meningkatkan investasi energi lebih bersih,” katanya.

Namun OJK berkomitmen dalam 10 tahun ke depan, akan mendorong pasar modal lebih memiliki kebijakan keuangan yang tak hanya memikirkan pertumbuhan ekonomi, juga dampak lingkungan.

 

Sumber : MONGABAY.CO.ID