Berharap Indonesia bebas dari pengaruh IMF dan Bank Dunia

10 Oktober 2018

Pertemuan organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam The People's Summit on Alternative Development telah merumuskan isu untuk disampaikan ke pemerintah Indonesia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

"Tunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi berada di bawah pengaruh Bank Dunia dan IMF," kata Koordinator The People's Summit on Alternative Development, Hamong Santono, di Denpasar, Bali, Selasa (9/10/2018).

Menurut Hamong, situasi sekarang berbeda dengan 1998. Saat itu, ujar dia, krisis yang melanda mengesankan Indonesia tampak di bawah pengaruh IMF dan Bank Dunia

"Kedaulatan Indonesia menjadi penting dalam forum IMF dan Bank Dunia (sekarang) ini," ujar aktivis International NGO Forum on Indonesian Development (INFID ini.

Sedangkan untuk Bank Dunia, rumusan isu yang diajukan berkaitan dengan utang. Dan Hamong menilai Bank Dunia harus bertanggung jawab memperbaikinya.

Hal ini juga diungkapkan Perwakilan debtWATCH, Arimbi Heroepoetri. Indonesia harus melakukan audit utang dari Bank Dunia dan IMF yang mendanai proyek dan kebijakan. Bila utang itu menimbulkan kerugian, Indonesia perlu menegosiasikan utang itu lagi.

"Utang itu efektif atau malah merusak lingkungan, sosial, dan melanggar hak asasi manusia?" katanya.

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Khalisah Khalid, pun berharap agar pemerintah Indonesia mau berargumentasi ihwal beban utang masa lalu.

"Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah moratorium proyek utang dan melakukan audit masa lalu hingga saat ini", ujarnya.

Khalisah pun memberi contoh kegagalan proyek yang didanai Bank Dunia, Waduk Kedungombo di Grobogan, Jawa Tengah. Proyek itu disebut mewariskan kemiskinan dan melanggar hak asasi manusia.

Seharusnya, proyek itu perlu disertai kebijakan permukiman (resettlement) untuk menghindari risiko ketimpangan warga. "Proyek infrastruktur dengan ancaman relokasi masyarakat itu seharusnya dimoratorium," tutur Khalisah.

Sementara peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono, menuntut keterbukaan informasi untuk publik terkait proyek yang didanai IMF dan Bank Dunia. Menurut dia, kontrak pengadaan barang dan jasa yang tertutup akan menyulitkan masyarakat untuk mengawasi pembangunan.

"Proyek besar atau pun pembangunan di desa," katanya.

Sedangkan Direktur Perkumpulan, Prakarsa Ah Maftuchan, menyoroti ketimpangan ekonomi, sosial, dan gender. Ketimpangan menjadi masalah serius karena membatasi akses masyarakat ke sumber ekonomi dan layanan dasar. Maka Maftuchan mendesak pemerintah melakukan upaya yang di luar kebiaaan.

Dasar argumen mereka adalah kebijakan yang masih pro orang kaya. Sementara untuk orang miskin dibebani pajak.

Arimbi lebih lanjut mengatakan perlu dibangin kesadaran bahwa Bank Dunia dan Indonesia adalah konstituen. Itu sebabnya proses konsultasi pun penting menjadi perhatian. "Proses konsultasi ini yang belum terjadi dengan baik. Makanya tuntutannya transparansi dan tanggung jawab," ujarnya.

Secara umum, isu yang akan diajukan ke pemerintah Indonesia, serta IMF, dan Bank Dunia, hari ini (10/10/2018), cukup banyak. Ia meliputi sektor keuangan berkelanjutan, antikorupsi, pendanaan pembangunan, pelayanan publik melalui kesetaraan gender, kesehatan, dan pendidikan.

Para aktivis juga menyoroti isu perubahan iklim; sumber daya alam; kemaritiman; pembaruan hukum adat, desa, dan sosial ekonomi; penyelamatan aset; keadilan pajak; dan investasi infrastruktur.

The People's Summit on Alternative Development ini memang ajang tandingan para aktivis terhadap rapat tahunan IMF dan Bank Dunia yang sedang berlangsung di Nusa Dua, Bali. Dan secara umum pula, para pemimpin dalam rapat ini akan membawa isu yang sebenarnya hampir sama meski dari sudut pandang berbeda.

sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/berharap-indonesia-bebas-dari-pengaruh-imf-dan-bank-dunia