Panduan Sederhana Memahami Kasus BLBI

26 Juli 2018
​ Skandal BLBI (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)

Kamu tahu soal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia? Banyak yang bilang, kasus ini ruwet seperti perkara Bank Century. Karena itu, kami rasa perlu membuat sebuah panduan memahami sejarah BLBI bagi orang awam.

Untuk memahami skandal yang berhubungan keuangan perbankan itu, minimal harus mulai dari tahun 1997/1998. Ada jeda sekitar 20 tahun, sejak dana BLBI dicairkan, lalu penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada tahun 2004, sampai akhirnya salah satu perkara dugaan korupsinya disidangkan di Pengadilan Tipikor sekarang.

Poster demonstrasi terkait kasus BLBI, pada 22 Juli 2008. (Foto: AFP PHOTO/ADEK BERRY)

Saat ini sedang bergulir sidang dugaan korupsi penerbitan SKL oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik taipan Sjamsul Nursalim. Terdakwa yang sedang diadili adalah mantan kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Sementara Sjamsul Nursalim belum jadi tersangka dan dilaporkan masih ada di Singapura.

Bagaimana sebenarnya perjalanan kasus tersebut sampai ke KPK? Berikut penjabarannya dalam bentuk tanya jawab berikut ini:

Apa itu BLBI?

Begini, BLBI merupakan bantuan likuiditas yang diberikan Bank Indonesia (BI) kepada berbagai bank yang mengalami persoalan likuiditas. Nah, bantuan likuiditas merupakan skema bantuan berupa pinjaman sejumlah uang yang diberikan BI terhadap bank-bank, yang kasarnya, hampir bangkrut. Ini kejadian pada waktu tahun 1997-1998.

Dalam istilah perbankan, likuiditas merujuk pada kemampuan sebuah bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya sejumlah uang dari nasabah. Sederhananya, jika A ingin menarik Rp 100 juta di rekeningnya, sebuah bank harus siap dengan penarikan uang tunai yang dilakukan A tersebut.

Ilustrasi Bank Indonesia (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)

Jika sebuah bank mampu memenuhi kewajiban penarikan uang tunai itu, maka bank tersebut dapat dikatakan likuid (sehat). Penarikan uang tunai itu juga tak terbatas pada nasabah yang ingin menarik uangnya saja, sebuah bank yang likuid adalah bank yang juga mampu menyiapkan sejumlah uang untuk para debitur (orang-orang yang meminjam uang ke bank).

Persoalannya, bank-bank di Indonesia pernah berada di titik yang tak lagi mampu menyediakan sejumlah uang tersebut ke masyarakat. Peristiwa itu terjadi pada krisis moneter 1997/1998. Kala itu, mata uang sejumlah negara Asia, termasuk rupiah menurun drastis terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tak sedikit pengusaha yang meminjam uang di bank kesulitan untuk membayar utang-utangnya.

Aksi Long March Mei 1998 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)

Ya bayangkan saja, Juni 1997 itu nilai tukar rupiah terhadap dolar sekitar Rp 2.426, nominal tersebut terus melemah hingga mencapai Rp.5.326 pada Desember 1997. Pada Juli 1998, nilainya terjun bebas hingga mencapai Rp 14.965. Benar-benar terpuruk.

Bagi bank-bank di Indonesia, kesulitan yang menimpa para pengusaha itu jelas jauh dari kata kabar baik. Selain pembayaran utang menjadi tersendat, kas yang dimiliki bank otomatis menjadi semakin menipis. Jumlah kredit macet di perbankan nasional bahkan mencapai Rp 10,2 triliun per April 1997.

Kondisi itu mengakibatkan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank semakin khawatir. Mereka takut uang yang disimpan hilang begitu saja akibat krisis. Terjadilah fenomena yang dikenal dengan Rush (penarikan uang di bank secara massal). Bak jatuh tertimpa tangga, berbagai bank akhirnya mengalami minus yang besar pada rasio kecukupan modalnya atau CAR (Capital Adequacy Ratio).

Aksi Mei 1998 (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)

Di mata pemerintah, krisis yang menimpa perbankan itu jelas tak bisa dibiarkan begitu saja. Presiden Soeharto akhirnya mengambil keputusan bahwa BI harus segera membantu bank-bank yang sekarat tersebut. Setidaknya, pada Desember 1997, ada 48 bank (mayoritas swasta) yang kemudian diberikan bantuan likuiditas dengan total uang senilai Rp 144,53 triliun.

Loh, 48 bank itu kan mau bangkrut, kok malah dibantu pemerintah?

Bagi pemerintah, memberikan bantuan likuiditas dipandang sebagai cara untuk mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Sederhananya, negara butuh masyarakat untuk selalu menyimpan uangnya di bank. Ya tadi, demi memutar arus uang untuk jalannya roda perekonomian.

Semua bermula pada pekan pertama Oktober 1997. Soeharto menggelar sidang kabinet yang isinya menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya adalah meminta bantuan IMF (Badan Moneter Dunia) untuk memulihkan krisis ekonomi Indonesia yang tengah babak belur.

Managing Director IMF, Michel Camdessus saat menyaksikan Presiden RI ke-2 Soeharto, menandatangani kesepakatan dengan IMF. (Foto: Dok. Istimewa)

Kala itu, Soeharto berpikir bahwa satu-satunya jalan untuk menghadapi krisis adalah dengan meminjam sejumlah uang kepada IMF. Bak pasien yang tengah sakit, Indonesia pun menerima begitu saja sejumlah rekomendasi pemulihan kriris yang berupa paket ekonomi ala IMF. Semua itu kemudian tertuang dalam Letter of Intent (LoI).

Paling tidak, ada dua rekomendasi IMF mengenai perbankan nasional yang bergejolak. Pertama, bank-bank yang tak mungkin lagi untuk diselamatkan akan dicabut izin usahanya. Kedua, bank-bank yang sakit akan disembuhkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Meski ada klausul soal penutupan sejumlah bank, pemerintah berjanji akan memulangkan sejumlah dana yang telanjur disimpan nasabah pada bank-bank tersebut. Bagi bank-bank yang mendapat bantuan likuiditas, mereka diwajibkan untuk mengembalikan bantuan tersebut dengan cara mencicil kepada pemerintah.

Oke, lalu letak masalahnya di mana ya?

Persoalannya, dana ratusan triliun rupiah yang dikucurkan pemerintah terhadap bank-bank itu tidaklah berjalan sesuai rencana. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pemilik bank diduga menyalahgunakan bantuan tersebut.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat bahwa skema bantuan dana segar itu tak tepat sasaran dan merugikan negara sebesar Rp 138 triliun. Ya, hanya Rp 6 triliun saja dari Rp 144,53 triliun yang benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.

Poster demonstrasi terkait kasus BLBI, pada 22 Juli 2008. (Foto: AFP PHOTO/ADEK BERRY)

Salah satunya adalah Sjamsul Nursalim. Dalam catatan Majalah Forum edisi 18 Agustus 2012, Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), itu menerima uang sebesar Rp 37,04 triliun. Uang sebesar itu mulanya ditujukan untuk memulihkan bank BDNI yang saat itu statusnya BBO (Bank Beku Operasi).

Tentu bukan cuma Sjamsul Nursalim, sederet konglomerat pemilik bank lainnya juga melakukan hal yang sama. Beberapa di antaranya bahkan kabur ke luar negeri.

Poster demonstrasi, pada 24 Agustus 1998. (Foto: AFP PHOTO/ADEK BERRY)

Sebagian kan kabur tuh, terus pelunasan utangnya bagaimana?

Jadi, sebelum para pemilik bank itu kabur, pemerintahan BJ Habibie sempat meminta pelunasan utang itu dilakukan dalam tempo satu bulan. Namun, bank-bank itu mengaku tak mampu melunasinya dalam waktu secepat itu. Mereka meminta 5 tahun sebagai jatuh tempo pelunasan utang tersebut.

Akhirnya diambil keputusan penting, yakni pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama.

Bacharuddin Jusuf Habibie (Foto: Fanny Kusumawardhani)

Pada saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, pengembalian BLBI dari bank-bank yang bermasalah itu belum juga tuntas. Bersamaan dengan itu, sejumlah upaya penegakan hukum terhadap penggelapan dana BLBI itu tengah berlangsung.

Tanggal 30 Desember 2002, Mega akhirnya mengambil satu langkah penting. Dia meneken Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada para pemilik bank yang berhasil melunasi utangnya. Selain itu, Inpres tersebut juga mengatur soal ancaman hukum kepada orang-orang yang melanggar.

Dengan skema tersebut, penerima BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) walau hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai, serta 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Megawati Soekarnoputri (Foto: www.pdiperjuangan.id)

Langkah Megawati itu rupanya direspons positif oleh bank-bank yang masih memiliki tunggakan. Alasannya sederhana, mereka mampu membayar pinjaman itu dengan menyerahkan aset-aset perusahaan yang mereka miliki. Hal itu dinilai lebih mudah ketimbang membayarnya dengan uang tunai.

Setidaknya, ada 23 pemegang saham yang telah memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan.

 

Poster demonstrasi terkait kasus BLBI, pada 22 Juli 2008. (Foto: AFP PHOTO/ADEK BERRY)

Siapa saja yang bermasalah di kasus ini?

Sekitar 15 tahun lalu, tahun 2003, adalah tahun vonis bagi para oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank. Sederet nama-nama pejabat BI seperti Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo dijebloskan ke penjara dengan kurungan sekitar 2 sampai 3 tahun penjara.

Selain pejabat BI, beberapa vonis kurungan penjara juga menimpa konglomerat maupun pejabat bank yang menerima BLBI tersebut. Namun, sebagian dari mereka tetap berkelit dan sebagian besarnya lagi justru kabur begitu saja ke luar negeri.

Bicara soal data, tidak begitu jelas jumlah orang yang terlibat dalam kasus ini. Namun, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006, ada sebanyak 65 debitur BLBI yang telah diperiksa pihak kejaksaan. Pada 17 Oktober 2006, Jaksa Agung saat itu, Abdul Rahman Saleh, mengungkapkan bahwa ada 14 pejabat bank yang menikmati kucuran dana BLBI dan statusnya menjadi buron.

Tumpukan uang hasil korupsi BLBI (Foto: Moh Fajri/kumparan)

Nama-nama seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, Samadikun Hartono, Lesmana Basuki, Sherni Kojongian, Hendro Bambang Sumantri, Edy Djunaedi, Ede Uto, Toni Suherman, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Ariawan, Harry Mattalata, Nader Taher, hingga Dharmono K Lawi merupakan pejabat dari beberapa bank yang tersangkut kasus BLBI.

Sebanyak 14 buron itu memiliki ceritanya masing-masing. Misalnya, Andrian Kiki Ariawan (Direktur Bank Surya) divonis seumur hidup oleh pengadilan pada 2003. Namun pada saat vonis dibacakan, Andrian sudah kabur ke Australia. Baru pada 2014 dia berhasil dipulangkan dan kini mendekam di Lapas Cipinang.

Selain itu, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, juga disebut-sebut kabur ke Singapura. Kasus Sjamsul Nursalim ini kemudian menjadi bersayap, penuh intrik, skandal suap lembaga peradilan, dan tentu saja, melibatkan lebih banyak orang baru.

Lebih dari 20 Tahun Kasus BLBI Berjalan (Foto: Putri Arifira/kumparan)

Kasus Sjamsul Nursalim itu seperti apa Sebetulnya?

Pada mulanya, aparat penegak hukum berupaya menangkap Sjamsul atas tuduhan penggelapan uang kucuran BLBI. Kala itu, 16 April 2001, Sjamsul bahkan sempat ditahan oleh kejaksaan. Namun, Sjamsul meminta pembantaran (penangguhan penahanan) kepada kejaksaan. Dia berdalih bahwa dirinya butuh berobat karena menderita sakit penyempitan pada pembuluh darah.

Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)

Entah bagaimana ceritanya, Sjamsul rupanya justru terbang ke Singapura. Dengan dalih berobat, dia tak pernah pulang lagi ke Indonesia.

Sejak Inpres yang diterbitkan Megawati mencuat pada 2002, Sjamsul adalah orang yang berupaya melunasi utangnya dengan menyerahkan aset yang dia miliki kepada negara.

Aset-aset itu dia serahkan kepada BPPN yang kala itu dikomandoi Syafruddin Arsyad Temenggung. BPPN yang kemudian memberi rekomendasi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang salah satu anggotanya adalah Menteri Keuangan era Megawati, Boediono.

Langkah itu nyatanya berhasil. Sjamsul mengantongi SKL tersebut. Dan sesuai dengan amanah dari Inpers Megawati, Sjamsul terbebas dari segala tuduhan, termasuk tuduhan penggelapan itu. Kejaksaan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Sjamsul Nursalim saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. (Foto: AFP/KEMAL JUFRI )

Sekilas, pesoalan BLBI yang mendera BDNI memang telah selesai. Namun, Kejaksaan Agung justru mengendus bahwa penerbitan SKL terhadap Sjamsul berbau bisnis dan penuh kecurangan.

Pada 2007, Kejaksaan Agung memimpin jalannya proses hukum terhadap Sjamsul. Sasaran tembaknya jelas, yakni menyelidiki aset-aset yang diserahkan Sjamsul kepada BPPN. Maklum, saat itu kuat dugaan bahwa Sjamsul menyerahkan aset bodong yang nilainya tak setara dengan jumlah utang yang dia miliki.

Sayangnya, Kejaksaan Agung tak berhasil melacak aset-aset bodong tersebut. Sebaliknya, Jaksa Urip Tri Gunawan yang kala itu bertugas sebagai Ketua Tim Penyelidikan kasus BLBI mengehentikan kasus tersebut..

Loh, kenapa dihentikan?

Kejaksaan sempat berdalih kurang alat bukti. Namun beberapa hari setelah pemberhentian kasus tersebut pada Maret 2008, KPK justru menangkap Jaksa Urip. Terungkap pula bahwa Urip menerima suap dari Artalyta Suryani agar menghentikan pengusutan kasus itu. Artalyta sendiri disebut-sebut merupakan orang dekat Sjamsul Nursalim

Terang saja, penangkapan tersebut menggegerkan publik. Tak tanggung-tanggung, Urip menerima uang suap sekitar Rp 6 miliar.

Urip Tri Gunawan. (Foto: ANTARA/Yudhi Mahatma)

Fokus publik terhadap BLBI pun bergeser, dari yang mulanya upaya menyeret Sjamsul ke meja hijau, berubah menjadi menyaksikan persidangan Urip dan Artalyta yang duduk di kursi pesakitan.

Memang, saat itu Artalyta sempat berkelit bahwa uang yang diberikan itu untuk keperluan bisnis bengkel milik Urip. Namun pengadilan jelas tak percaya.

Berdasarkan rekaman yang berisi percakapan antara Urip dan Artalyta, tampak bahwa Artalyta meminta Urip untuk tidak melanjutkan kasus Sjamsul. Dalam rekaman itu pula, Artalyta bahkan meminta Urip untuk datang ke rumahnya untuk mengambil uang tersebut.

Artalyta Suryani tiba di KPK. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)

Setelah melewati berbagai persidangan yang panjang di pengadilan Tipikor, Urip akhirnya dijebloskan ke penjara selama 20 tahun, sementara Artalyta dijebloskan ke penjara selama 5 tahun.

Sekarang kasus Penerbitan SKL itu bagaimana?

Saat ini, kasus tersebut sedang ditangani KPK. Penyidik KPK mulai mengarahkan fokus ke dugaan penyimpangan penerbitan SKL oleh BPPN untuk BDNI.

Syafruddin Temenggung Mantan Kepala BPPN. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)

Cerita lalu berlanjut pada penetapan tersangka terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung pada 25 Juli 2017. Syafruddin didakwa memperkaya Sjamsul dan merugikan negara atas terbitnya SKL tersebut.

Terdakwa kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), Syafruddin Arsyad Temenggung, menjalani sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (26/7). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)

Berdasarkan surat dakwaan, disebutkan bahwa satu kekeliruan fatal yang menyebabkan Syafuddin dianggap memperkaya Sjamsul adalah soal hitung-hitungan aset tambak.

Soal tambak, penjelasannya bagaimana tuh?

Untuk melunasi tunggakan BLBI itu, Sjamsul cukup menyerahkan aset-aset yang dia miliki kepada negara. Salah satu aset yang dia miliiki dan diajukan ke BPPN adalah piutang tambak udang kepada BDNI.

Kala itu, 2004, Sjamsul menyebut bahwa ada tambak udang yang memiliki utang terhadap dirinya senilai Rp 4,8 triliun. Aset tersebut, termasuk yang dia serahkan kepada BPPN demi mendapatkan SKL yang bisa membuatnya bebas dari segala tuduhan penggelapan.

Syafruddin Arsyad Tumenggung usai diperiksa KPK. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)

Namun Sjamsul diduga tidak melaporkan bahwa utang petambak itu adalah kredit macet. Ia bahkan melaporkannya sebagai piutang yang lancar.

Persoalan lainnya, nilai piutang tambak senilai Rp 4,8 triliun itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Setelah dilakukan penghitungan, hak tagih utang yang bisa didapatkan dari para petambak plasma udang tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar.

Sederhananya, A mengaku punya utang Rp 20 ribu ke B. Bersamaan dengan itu, B juga memiliki utang senilai Rp 20 ribu ke C. Nah untuk melunasi utangnya kepada C, B meminta C untuk menagih sendiri Rp 20 ribunya ke A. Sialnya, utang yang dimiliki A kepada B hanyalah Rp 500 perak. Benar-benar buntung.

Syafruddin jalani sidang eksepsi kasus BLBI. (Foto: Adhim Mugni Mubaroq/kumparan)

Kalau soal kerugian negara akibat penerbitan SKL itu berapa sih?

Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Sjamsul seharusnya masih memiliki utang ke negara sebesar Rp 4,58 triliun. Nilai itu didapat dari pengurangan utangnya yang senilai Rp 4,8 triliun terhadap nilai tambak yang sebesar Rp 220 miliar. Nilai Rp 4,58 triliun itulah yang kemudian dihitung sebagai kerugian negara.

Lalu sekarang di mana Sjamsul?

Sjamsul tak lagi berada di Indonesia. Sejak 2001, dia pergi ke luar negeri dengan alasan untuk berobat. Belakangan, pengacara Sjamsul, Otto Hasibuan menyebut kliennya tidak pernah melarikan diri dan saat ini menetap di Singapura.

Bagaimana Tanggapan Sjamsul soal Tuduhan SKL yang diduga belum lunas?

Menurut pengacara Sjamsul, Otto Hasibuan, persoalan SKL harusnya sudah selesai. Sebab, Sjamsul sudah membayar seluruh utang dan kewajibannya ke pemerintah. Hal itu, kata Otto, diperkuat dengan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2002 dan 2006 yang menyebut BDNI telah closing dan memenuhi seluruh kewajibannya.

Sjamsul Nursalim. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)

sumber : https://kumparan.com/@kumparannews/panduan-sederhana-memahami-kasus-blbi-27431110790554171