Terjerat Kasus Pinjaman Online (Pinjol) Ilegal

09 Maret 2020

Perempuan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses layanan jasa keuangan formal. Norma kultural membuat laki-laki memiliki privilese dalam kepemilikan aset. Terbatasnya kepemilikan aset pada kelompok perempuan berdampak pada terbatasnya akses perempuan untuk memperoleh kredit atau pinjaman dari lembaga keuangan. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dirilis oleh OJK pada 2019, tingkat inklusi keuangan laki-laki sebesar 77,24 persen lebih tinggi dibanding perempuan yang hanya sebesar 75,17 persen.

Perkembangan teknologi menyediakan alternatif bagi kelompok perempuan untuk mengakses layanan keuangan yang lebih mudah dan terjangkau, salah satunya melalui layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi atau pinjaman online. Di satu sisi, kemudahan akses memberikan kesempatan bagi kelompok perempuan yang belum terlayani oleh lembaga keuangan formal untuk mendapatkan modal usaha produktif demi meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Namun di sisi lain, berbagai jenis pinjaman yang ditawarkan cenderung bersifat konsumtif yang justru meningkatkan risiko keterlilitan utang (over-indebtedness).

Perempuan memiliki literasi keuangan yang relatif lebih rendah yaitu 36,13 dibanding laki-laki sebesar 39,94 persen (SNLIK, 2019). Rendahnya literasi keuangan membuat seseorang terpapar risiko utang berbiaya tinggi antara lain karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian atas risiko dan biaya utang serta ketidakmampuan mengukur kemampuan membayar utang. Kemudahan akses layanan keuangan melalui pinjaman online, terutama pinjaman online ilegal, tanpa disertai dengan literasi keuangan yang baik membuat kelompok perempuan rentan terjerat utang yang disebabkan beban biaya pinjaman yang tinggi dengan masa pinjaman yang singkat. Belum lagi lemahnya perlindungan konsumen membuat perempuan kerap menjadi korban intimidasi, teror, ancaman, dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh penagih utang.

Studi Kasus Responsibank Indonesia (2019) menganalisis profil rumah tangga yang mengalami keterlilitan utang dipicu oleh minimnya literasi keuangan, taktik pemasaran agresif, praktik predatory lending, dan longgarnya proses penyaringan kredit. Salah satu kasus yang dipotret adalah kasus Ibu WT, seorang wirausaha berusia 35 tahun yang bekerja sebagai wiraswasta. Awalnya, Ibu WT mengajukan pinjaman melalui 7 aplikasi pinjaman online untuk membayar cicilan mobil senilai 7 juta rupiah. Namun, biaya pinjaman yang tinggi dengan masa jatuh tempo yang singkat serta intimidasi yang dilakukan dalam proses penagihan memaksa Ibu WT terus membuka pinjaman di aplikasi baru untuk menutupi pinjaman sebelumnya. Dalam kurun waktu 9 bulan, Ibu WT terjerat utang hingga di 80 aplikasi pinjaman online dengan total pinjaman hingga 500 juta rupiah.

Perempuan lebih rentan terhadap cara-cara penagihan utang yang tidak manusiawi melalui teror, ancaman penyebaran data pribadi, dan pelecehan seksual di dunia maya yang dilakukan oleh banyak penyedia aplikasi pinjaman online ilegal. Upaya literasi keuangan dan perlindungan konsumen perlu terus dilakukan untuk memastikan bahwa akses terhadap layanan keuangan bersifat inklusif dengan terus menghargai harkat dan martabat perempuan.

---

 

In Indonesia, women still face many challenges in accessing finance from formal financial institution. Cultural norms gives privilege to men over women in asset ownership. As women have less control in asset ownership, they face major constraint in obtaining credit or loan from financial services. Based on National Survey on Financial Literacy and Inclusion (SNLIK) released by Financial Services Authority (OJK) in 2019, financial inclusion in men is relatively higher which is 77,24 percent compared to women which is only 75,17 percent.

Improvement in technology served as an alternative for women in accessing financial services that is relatively easier and more affordable, one of which through Information Technology-Based Lending Services (LPMUBTI) known as peer-to-peer (P2P) lending. On the one hand, the ease of access gives opportunity for underserved women to obtain productive financial capital in the pursuit of better standard of living among their households. However, on the other hand various types of loans offered tend to be consumptive, which in fact increases the risk of over-indebtedness.

Women have relatively lower financial literacy which is 36,13 percent as compared to men which is 39,94 percent (SNLIK, 2019). Lack of financial literacy exposed individual into high cost debt due to ignorance and illiteracy of the risk and cost of debt and inability to measure the capacity to repay. Without financial literacy, the ease of access especially those offered by illegal P2P lending makes women more vulnerable to being in debt due to high debt burden with a short loan period. Not to mention, lack of consumer protection makes women often becomes the victim of intimidation, terror, threat and sexual harassment performed by debt collector.

 

A case study conducted by Responsibank (2019) found that household over-indebtedness mainly caused by lack of financial literacy, aggressive marketing techniques, predatory lending and loosen credit screening process. One of the case is portrayed though WT, an entrepreneur aged 35 years old. At an early stage, WT decided to borrow from 7 applications in order to pay her car instalment amounted to 7 million rupiah. However, high debt burden with a short loan period along with continuous intimidation during collection forced WT to take new loans from another application. Within 9 months period, WT had 80 applications with a total loan up to 500 million rupiah.

Women are more vulnerable to inhumane ways of debt billing through terror, violation of personal data protection and sexual harassment mostly performed by illegal P2P lending.  The effort to push financial literacy and consumer protection need to be continued to ensure inclusive financial services that respects the rights and dignity of women.