Bank Disebut Tak Acuh Sosial
Perbankan di Indonesia dinilai hanya mengedepankan aspek bisnis dan keuangan. Penilaian itu disampaikan Koalisi Responsibank Indonesia. Mereka menyebut bank nasional maupun asing di Tanah Air kurang peduli terhadap isu sosial dan lingkungan hidup.
Perwakilan Koalisi Responsibank Indonesia dari Perkumpulan Prakarsa, Victoria Fanggidae, mengatakan, standar rendah yang diterapkan bank dalam membiayai proyek dan perusahaan berisiko tinggi tidak bisa ditoleransi.
"Berisiko tinggi terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, menyebabkan konflik sosial maupun degradasi lingkungan," katanya dalam peluncuran perangkat penilaian bank di Jakarta, Rabu (11/3).
Koalisi Responsibank Indonesia tersebut terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Mereka, yakni Perkumpulan Prakarsa, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Publish What You Pay (PWYP), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Infid.
Koalisi Responsibank Indonesia telah melakukan penilaian terhadap sejumlah kebijakan investasi 11 bank terbesar di Indonesia. Mereka terdiri atas delapan bank nasional dan tiga bank asing terbesar. Penilaian itu menghasilkan pemeringkatan bank berdasarkan unsur-unsur sosial dan lingkungan hidup dalam kebijakan investasi yang mereka publikasikan.
Hasil penilaian menunjukkan, baik bank asing maupun nasional, masih kurang peduli terhadap isu sosial dan lingkungan hidup. Pemeringkatan menghasilkan skor cukup atau sangat kurang. Bank-bank asing mendapatkan skor sedikit lebih baik dari bank nasional, yaitu antara dua sampai empat. Sedangkan, bank-bank nasional mendapatkan skor nol sampai dua dalam skala yang sama, yakni skala 1-10.
Menurut peringkat Responsibank, urutan pertama dari 11 bank yang dinilai, yakni HSBC dengan skor akhir empat, diikuti dua bank asing lainnya, Citibank dan Mitsubishi-UFJ. Sedangkan bank nasional terbaik, yaitu BNI dan Danamon dengan skor satu dan bertengger di peringkat empat dan lima dari 11 bank lainnya.
Bank-bank nasional lainnya tidak mendapatkan nilai sama sekali karena skor akhir lebih kecil dari 0,5. Peringkat akhir ditempati BCA dan Bank Panin, yang masing-masing hanya memperoleh nilai 0,14 dan 0,08 dari skala 1-10. Dengan hasil tersebut rata-rata nilai bank-bank di Indonesia terburuk di antara tujuh negara. Tujuh negara itu, di antaranya Brasil, Belgia, Perancis, Jepang, Belanda, dan Swedia yang sama-sama menjalankan pedoman inisiatif fair finance internasional.
"Bank merupakan penopang penting ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Degradasi lingkungan, deforestisasi, dan hilangnya hak rakyat atas wilayah kelola akibat praktik industri ekstraktif mesti dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari investasi modal bank," ujar Victoria.
Menurut Victoria, dunia saat ini bergerak menuju ekonomi hijau. Karena itu, orientasi hanya pada pasar domestik untuk bisnis perbankan tidak relevan. N ed: nur aini