Ekonomi Bisa Berhenti Jika Investasi Bahan Bakar Fosil Dihilangkan
Sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya dikritik lantaran masih menggelontorkan investasi untuk energi fosil dan energi lain yang polutif. Menurut Mantan Anggota Dewan Nasional Perubahaan Iklim, Farhan Helmy, perbankan maupun lembaga keuangan memiliki peran penting dalam transformasi energi. Ia menilai, seharusnya institusi yang memberikan pinjaman dan menerima penjaminan itu bisa mendorong transformasi pemanfaatan energi dari bahan bakar fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT).
"Terlebih arus finansial sekarang sudah menuju ke green investment. Kalau institusi finansial tidak beradaptasi, perbankan kita akan terseok," ujar Farhan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (6/11).
Farhan menuturkan, investasi hijau telah menjadi tren di dunia. Ia pun menyebut bahwa Amerika Serikat telah menghentikan pembangunan 200-an pembangkit listrik yang menggunakan batu bara. Sementara itu, Cina berkomitmen mengurangi impor batu bara. Australia juga telah melakukan moratorium ekspor batu bara.
Dalam kesempatan yang sama, Manajer Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Pius Ginting, mengingatkan bahwa pembakaran batu bara bisa menimbulkan akibat yang fatal. Ia mengatakan, negara miskin terancam kekurangan pangan dan air jika konsumsi batu bara tak juga dikurangi. Pius mengatakan, hasil penelitian dari University of London menginformasikan bahwa bumi terancam mengalami kenaikan suhu yang bisa mengakibatkan kekeringan.
“Penelitian itu menyebut, agar bumi tak mengalami peningkatan suhu itu, 85% batu bara yang ada saat ini harus dibiarkan tetap di dalam tanah,” tandas Pius.
Pius pun mengatakan, Indonesia termasuk salah satu negara yang menyumbang pembakaran batu bara cukup besar. Namun, hanya 15% batu bara yang boleh dieksploitasi secara bertanggungjawab. Di sisi lain, Pius pun mengkhawatirkan proyek 35 ribu Mega Watt (MW) yang dicanangkan Pemerintah akan menambah sumbangan pembakaran dari Indonesia. Pasalnya, sekitar 60% sumber energi pembangunan proyek itu akan berasal dari batu bara.
Pius pun mengakui, untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara, dibutuhkan waktu yang lama sebagai toleransi. Hanya saja, ia mengingatkan, jika pemerintah tetap memaksakan pembangunan PLTU, maka emisi dan pencemaran yang dihasilkan juga akan berpengaruh dalam jangka panjang. Terlebih lagi, menurut Pius, pembiayaan untuk PLTU juga harus dikritisi.
“Untuk pembangunan itu kita membutuhkan pembiayaan baik nasional maupun internasional. Jepang pemain utama PLTU. Dan ironisnya, di saat negara dunia sedang mengurangi impor batu bara, Pemerintah dengan kebijakan nawacitanya, juga kebijakan korporasi mengalihkan pasar batu bara dari luar negeri ke dalam untuk mengurangi kompensasi penurunan ekspor,” keluhnya.
Pembangunan PLTU yang dilakukan oleh pihak Jepang pun, menurut Pius tak adil. Sebab, teknologi yang digunakan berbeda dengan apa yang dipakai di Negeri Matahari Terbit itu. Menurut Pius, teknologi PLTU di Indonesia yang dipakai Jepang memiliki konsentrasi emisi sepuluh kali lebih besar.
“Di saat PLTU di Jepang masih menghasilkan 10% sulfur oksida, PLTU di Indonesia dengan menggunakan teknologi Jepang menghasilkan 227% sulfur oksida,” tandasnya.
Sementara itu, Deputi Direktur Departemen Penelitian dan Regulasi Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edi Setijawan, menuturkan pendanaan bank yang dinilai menyumbang emisi, perlu dilihat secara komprehensif tidak hanya dari dampak lingkungan.
Ia pun menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami defisit energi yang masih besar. Kalau impor energi sudah menurun dan ekonomi stabil, maka Rupiah akan menguat. Selain itu, Edi juga menyayangkan jika batu bara di Indonesia tidak dimanfaatkan. Menurutnya, hal itu merupakan berkah yang harus diolah.
"Kalau kita hilangkan investasi untuk bahan bakar fosil, ekonomi kita akan berhenti. Kalau perbankan melarang kredit mining, terus siapa yang membiayai sektor energi?," pungkasnya.