Kredit Properti I Bahaya, Kredit Konsumer Sudah Mencapai Rp1.000 Triliun | BI-OJK Mesti Hindari Kerancuan Wewenang
JAKARTA – Keinginan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melonggarkan ketentuan pembatasan besaran kredit (loan-to-value/LTV) kredit properti dan otomotif dinilai merupakan upaya “intervensi” OJK terhadap Bank Indonesia (BI). Hal itu juga mengindikasikan munculnya dualisme kewenangan antara kedua lembaga itu dalam mengatur sektor perbankan.
Oleh karena itu, sejumlah kalangan meminta BI berhati-hati menyikapi keinginan OJK tersebut, terutama pada rencana melonggarkan ketentuan uang muka untuk kredit properti. Pasalnya, dalam situasi pasar yang mengalami kelebihan pasokan, khususnya di segmen menengah ke atas seperti saat ini, kebijakan itu akan memicu jor-joran kredit properti dan akan lebih banyak menguntungkan pengusaha properti kelas atas.
Padahal seperti dikabarkan, harga segmen properti menengah ke atas di Indonesia lebih banyak dimainkan oleh spekulan sehingga menimbulkan bubble property. Sepanjang 2012-2013, BI mencermati ada lebih dari 35 ribu debitor yang memiliki Kredit Pemilikan Rumah (KPR) lebih dari satu rumah. Mayoritas debitor inilah diduga sebagai spekulan yang menggelembungkan harga.
Direktur Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, ketika dihubungi, Jumat (24/4), mengingatkan dalam sejarah perekonomian, bubble property kerap menjadi pemicu krisis ekonomi, seperti yang terjadi di Indonesia pada krisis 1997/1998. Dan keputusan BI mematok LTV sebesar 70 persen pada 2013 adalah keputusan tepat dan harus terus dilanjutkan sampai ada pembenahan serius dalam pengucuran kredit properti.
Ia mengungkapkan kredit properti kelas menengah atas di kota-kota besar seperti Jakarta, jelas-jelas dijadikan ajang spekulasi yang bahkan melibatkan insider trading atau peran orang dalam, yakni pembeli pertama adalah kelompok yang sama dengan developernya.
“Kemudian mereka menggunakan strategi pemasaran dengan iklan gila-gilaan hingga seminggu. Dalam sebulan, harga properti tersebut bisa naik 10-20 persen,” papar dia.
Makanya, lanjut Setyo, banyak apartemen di Jakarta yang tak berpenghuni. Ini mencerminkan propert bukan lagi sebuah kebutuhan dasar melainkan sebuah permianan spekulasi.
“Sayangnya dampak dari itu semua sangat besar bagi perekonomian. Begitu terjadi kontraksi ekonomi, properti yang kena pertama kali, dan kalau dana bank begitu banyak di sana, pada akhirnya rakyat yang harus menalangi,” kata Setyo.
Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengungkapkan secara keseluruhan kredit konsumsi yang disalurkan bank-bank umum sudah sangat tinggi karena mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah.
“Ini sudah mengkhawatirkan, karena kredit perbankan tersalur ke kegiatan yang tidak produktif. Kondisi ini pula yang menyebabkan BI meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran kredit, terutama di sektor properti,” papar dia.
Salamuddin juga menilai munculnya “intervensi” OJK pada kebijakan BI menggambarkan ruwetnya pembagian kewenangan dan kewajiban antara BI dan OJK. Kondisi itu, kata dia, sesuai dengan pengakuan BI saat sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) di Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi.
“Perbanas pun mengakui adanya kekacaun akibat dualism BI-OJK, karena dua-duanya sama-sama menentukan nasib perbankan. Maka kebijakan penurunan LTV properti ini jelas akan memantik polemik. Dan, yang utama dari protes pada OJK karena ada risiko besar yang harus ditanggung perbankan dan konsumen,” ungkap Salamuddin.
Berjalan Efektif
Dari Surabaya, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan saat ini kebijakan LTV yang mengatur uang muka pembelian rumah telah berjalan efektif dalam menstabilkan pasar properti dengan membatasi ruang gerak spekulan properti.
“Kebijakan BI tersebut sudah cukup mampu menekan aksi spekulasi pengembang. Kebijakan itu juga membantu pemerintah dan BI mengantisipasi terjadinya bubble property,” katanya.
LTV untuk bank konvensional mulai berlaku pada 2012. Saat itu, BI menetapkan batasan kredit yang diberikan perbankan menjadi 70 persen dari total transaksi. Selanjutnya pada akhir 2013, bank sentral kembali memperketat aturan ini, terutama untuk sektor properti. Pengetatan dilakukan karena pertumbuhan permintan properti mulai mengakibatkan kenaikan harga yang tak wajar. Saat itu, BI menerapkan batasan kredit pada rumah kedua sebesar 60 persen dan rumah ketiga sebesar 50 persen.
Imron kemudian menyontohkan Tiongkok yang sangat antisipatif dengan ancaman bubble property. “Tiongkok itu juga didesak oleh para pengembang untuk melonggarkan kebijakan propertinya. Tapi, karena otoritas keuangan di sana konsisten dan ketat, Tiongkok masih berusaha untuk bisa lepas dari ancaman bubble property,” ujar dia.
sumber : koran-jakarta.com