Aktivis Menggelar Forum Tandingan IMF-World Bank di Bali
Beberapa organisasi masyarakat (Civil Society Organizations/CSOs) menggelar The People’s Summit on Alternative Development selama 8-10 Oktober 2018 di Sanur, Bali. Lewat acara ini, para aktivis menuntut akuntabilitas dari forum Dana Moneter Internasional (IMF)-World Bank yang juga digelar di Bali.
Menurut anggota International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Hamong Santono, IMF dan Bank Dunia memiliki memiliki sejarah panjang dalam proses pembangunan di Indonesia. “Namun tidak ada penyelesaian yang bermakna untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan,” demikian dikutip dari siaran pers yang diterima Katadata, beberapa waktu lalu (6/10).
Tanpa menyebut contoh, menurutnya proyek yang dibiayai utang Bank Dunia seringkali berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
Ia pun mendorong pemerintah memanfaatkan pertemuan IMF-Bank Dunia untuk membahas isu besar yang tidak mampu diselesaikan oleh Indonesia sendiri, seperti aliran uang haram (illicit financial flow) dan asset recovery. “Ini supaya sidang tahunan itu benar-benar memberi manfaat bagi Indonesia,” demikian dikutip.
Hal senada disuarakan oleh aktivis debtWATCH Indonesia Diana Gultom. “Belum pernah terjadi proses yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Ia mencontohkan, kasus pembangunan dam di Kedung Ombo, Jawa Tengah (Jateng) yang dibangun di era Presiden Soeharto maupun rekomendasi IMF lainnya kepada pemerintah Indonesia lewat rangkaian LoI (Letter of Intent). “Itu masih memiliki dampak negatif sampai sekarang.”
Sementara itu, Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali Suriadi Darmokodari menyayangkan persoalan ekonomi Bali tidak dibahas di dalam Sidang Tahunan IMF-Bank Dunia tersebut. “Yang terjadi justru pendekatan represif dengan diturunkannya baliho-baliho Bali Tolak Reklamasi (BTR) yang menolak reklamasi Teluk Benoa, tanpa penjelasan,” kata dia.
Kemudian, Deputi Direktur Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Mutaqqin mengkritisi kebijakan perlindungan (safeguards) Bank Dunia yang diterapkan sejak 1 Oktober, bernama ESF (Environmental Social Framework). Menurutnya, kebijakan baru ini berpotensi menimbulkan praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan.
Di satu sisi, ia menilai hukum nasional yang menaungi proyek tersebut belum cukup memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang terdampak dan lingkungan hidup. “Bagaimana jika standar hukum nasionalnya jauh di bawah standar safeguards Bank Dunia,” ujarnya.
Lalu, Direktur Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan menyayangkan adanya beberapa agenda di dalam sidang tahunan tersebut yang bersifat tertutup bagi masyarakat umum. Padahal, Indonesia merupakan tuan rumah.
Ia juga berharap, pemerintah tidak menambah utang dari kedua lembaga tersebut setelah pertemuan ini. “Indonesia harus berhenti gali lubang tutup lubang dengan berutang. Siapapun pemerintahnya, kalau watak dan praktiknya masih sama, maka tidak akan ada perubahan,” kata dia.
Di lain kesempatan, Mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri mengatakan perhelatan akbar tersebut tidak akan menggelembungkan utang pemerintah. Lewat ajang internasional tersebut, pemerintah justru bisa memperjuangkan agenda dan ide-idenya agar didengar oleh para pembuat kebijakan di sektor keuangan.
"Untuk meminta tambahan utang, tidak perlu jadi tuan rumah. Argentina meminta utang IMF tahun ini karena krisis, mereka bukan tuan rumah," kata dia lewat akun Twitternya @ChatibBasri.
sumber : https://katadata.co.id/berita/2018/10/08/aktivis-menggelar-forum-tandingan-imf-world-bank-di-bali