Overview: Pembiayaan Perubahan Iklim di Indonesia
Kebutuhan Pembiayaan Perubahan Iklim
Sebagai penandatangan kesepakatan perubahan iklim Paris, Indonesia telah mengumumkan komitmen pencapaian target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 26 persen pada tahun 2020 dan 29 persen pada tahun 2030. Target perubahan iklim Indonesia dibangun diatas komitmen pemerintah mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk memastikan aspek – aspek ketahanan pangan, pengelolaan berkelanjutan untuk hutan, laut, dan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati dan permasalahan lainnya dapat diatasi.
Berdasarkan kajian yang dilakukan melalui Indonesia’s First Mitigation Fiscal Framework (2011), diestimasikan bahwa biaya mitigasi untuk aksi mitigasi dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) adalah sekitar Rp. 670 triliun (USD 70,5 miliar) sampai pada tahun 2020. Direncanakan berdasarkan target RAN-GRK yaitu 0.767 GtCO2e dikalikan dengan biaya rata-rata untuk tiap beratnya yaitu Rp. 91.000 (USD 9,5) per tCO2e. Namun, sumber pembiayaan yang ada hanyalah sebesar Rp. 15,9 triliun (USD 1,67 miliar), diperoleh dari anggaran pemerintah pusat, di luar anggaran pembiayaan pemerintah, dan anggaran pemerintah lokal pada tahun 2012. Sebagai hasil, pembiayaan saat ini hanya mampu membiayai 23% dari total mitigasi yang dibutuhkan.
Mitra pembangunan internasional telah berkontribusi signifikan terhadap sumber pendanaan publik domestik sebesar kurang lebih Rp. 2.851 miliar (USD 324 juta) ke dalam aliran dana perubahan iklim publik. Sekitar 55% pembagian dana perubahan iklim ditujukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta (umumnya dalam bentuk pinjaman). Sedangkan sebesar 32% dari pendanaan perubahan iklim di Indonesia disalurkan secara tidak langsung terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah lokal dan pusat (seperti pengembangan kebijakan) dan organisasi yang terlibat dalam pengembangan kapasitas dan pengetahuan, termasuk konsultan swasta, organisasi internasional dan LSM.
Peran Bank Nasional
Bank sentral Indonesia, Bank Indonesia, saat ini sedang menyusun peraturan terhadap perbankan hijau. Peraturan ini akan mewajibkan peminjam untuk mengakses peminjam yang potensial bukan hanya berdasarkan pada segi finansial, tetapi juga dari standar sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan adanya peraturan ini nantinya, Bank Indonesia akan memberikan insentif kepada sektor swasta untuk menginvestasikan dan terlibat dalam “sektor hijau” dan juga memberikan signal yang baik kepada bank lainnya untuk turut berpartisipasi dan menggambarkan dukungan dari pemerintah. Bank ini sedang dan masih melakukan kajian terhadap berbagai intervensi seperti pajak, pinjaman lunak, dan skema peminjaman.
Saat ini, beberapa bank nasional sudah memulai mengeluarkan dana dalam bentuk sejumlah proyek rendah karbon. Termasuk di dalamnya, pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dibiayai oleh BNI (sekitar USD 862 juta), program energi efisiensi yang didanai oleh Eximbank Indonesia dan ADB dengan total USD 200 juta. Contoh lainnya adalah Bank Mandiri yang menyalurkan dananya sebesar USD 100 miliar melalui proyek CDM. Dana tersebut disediakan oleh AFD (Agence Française de Développement)
Dalam WWF Sustainable Finance Report 2017, disebutkan bahwa bank-bank di Indonesia dan Singapura lebih unggul dalam hal pengungkapan kebijakan pembiayaan berkelanjutan sektoral dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya, yaitu dua bank nasional Indonesia yakni BRI dan BNI, dan bank DBS Singapura. Laporan ini juga menyatakan bahwa Indonesia adalah yang terdepan dalam pengembangan produk Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST) dan portfolionya se-ASEAN.
Tujuh bank berkomitmen sukarela dalam inisiatif keuangan berkelanjutan, empat diantaranya adalah bank di Indonesia, yaitu BRI, BNI, Bank Mandiri dan BCA. Keempatnya berkomitmen menjadi First Movers untuk perbankan berkelanjutan di Indonesia, dan BNI merupakan satu-satunya bank di dalam laporan ini yang merupakan anggota UNEP Financial Institution. Dua puluh satu bank di ASEAN mengakui bahwa kegiatan yang mereka biayai dapat berdampak buruk terhadap lingkungan dan sosial. Tetapi belum ada bank yang memahami bagaimana mereka mengelola risiko iklim dan keberlanjutan dimaksud pada tingkat portofolio. Menyadari pentingnya peranan sektor jasa keuangan, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan aturan tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan No 51 Tahun 2017 untuk mendorong akuntabilitas penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Sumber:
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/pkppim/id/site/index/pembiayaan-perubahan-iklim-di-indonesia
https://www.wwf.or.id/?60982/Sektor-Perbankan-di-ASEAN-Berperan-Kunci-Terhadap-Target-Pemerintah-untuk-Perubahan-Iklim-dan-SDGs
https://d2d2tb15kqhejt.cloudfront.net/downloads/WWF_Sustainable_Finance_report_2017_Indonesia.pdf