YLKI Minta OJK Atur Besaran Suku Bunga Fintech, Ini Kata Zulmi
MAKASSAR - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur besaran maksimal suku bunga yang dikenakan penyedia layanan financial technologi (fintech) kepada konsumen.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi dilansir Tribunnews menuturkan, hal tersebut perlu dilakukan OJK karena sudah banyak pengguna fintech merasa suku bunga yang diterapkan terlalu tinggi.
"Artinya harus diatur OJK harus ada kajian ekonomi. OJK harus turun tangan, kalau enggak bubarin aja OJK kalau enggak bisa atur," kata Tulus di Jakarta.
Menanggapi hal tersebut, Kepala OJK RO 6 Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), Zulmi yang dihubungi Selasa (20/11/2018) menuturkan, besaran suku bunga mengindikasikan tingkat risiko pinjaman yang diberikan.
"Semakin rendah risiko yang mungkin timbul akan semakin rendah suku bunganya," kata Zulmi.
Jadi besaran suku bunga sangat ditentukan oleh risiko yang mungkin timbul. Artinya mekanisme pasar berperan. "Fintech mengadopsi itu dan yah seperti itu adanya," ujar lelaki berkacamata itu.
Selama ini, kata dia, kredit di fintech telah disetujui, dan pastikan suku bunga yang diberikan sudah disepakati sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
"Jika dirasa suku bunga terlalu tinggi dan memberatkan, sebaiknya cari sumber pendanaan lain misalnya melalui bank," katanya.
Ia menawarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan suku hunga 7 persen. "Yang lebih penting kemampuan dan komitmen mengembalikan pinjaman sesuai yang disepakati," katanya.
Bunga hingga 30 Persen
Sebelumnya, masyarakat yang mengadu ke YLKI mengaku dikenai bunga yang beragam oleh para penyedia layanan fintech. Bunga yang dikenakan berkisar antara 10 sampai 30 persen.
Menurut Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, perlu memberikan standarisasi bunga seperti yang dilakukan di dunia perbankan. Hal ini perlu dilakukan agar fintexh tak semaunya.
"OJK harus turun tangan mengatur besaran bunga kalau sekarang belum diatur YLKI minta untuk diatur biar tidak liar. Karena di tengah literasi yang rendah, konsumen tereksploitasi bunga dan denda yang tak masuk akal. Jangan sampai fintech menjadi rentenir online," kata Tulus.
YLKI sendiri hingga November 2018 mengaku telah mendapat aduan terkait fintech sebanyak 200 laporan. Laporan tersebut rata-rata mengenai tingginya suku bunga hingga cara penagihan utang yang dilakukan penyedia jasa layanan Fintech.
"Kami juga merekomendasikan pada konsumen, pertama untuk membaca syarat dan ketentuan ketika klik fintech, karena kasus itu terjadi karena konsumen tidak membaca itu, tidak tahu dan kemudian di tengah jalan konsumen problemnya rata-rata menunggak cicilan," katanya.