YLKI: Tak Ada Peraturan Penghapusan Kredit Bagi Korban Bencana Sulteng
PALU - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sulteng menilai bahwa tidak ada satupun peraturan yang mengaminkan penghapusan atau pemutihan utang dari debitur terdampak bencana di Kota Palu, Kabupten Sigi dan Kabupaten Donggala,Provinsi Sulteng.
"Ada tiga peraturan berhubungan dengan kebijakan kredit bagi daerah bencana tidak satupun ketentuan yang mengaminkan perlunya penghapusan kredit, yakni perturan BI No.8 tahun 2006, peraturan Menkeu No 4 tahun 2010 dan peraturan OJK nomor 45 tahun 2017," kata Ketua YLKI, Sulteng, Salman Hadianto pada diskusi di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Senin, (3/12/2018).
Menurut Salman, kesemuanya sifatnya rescheduling, restukturing. Intinya ketiga aturan ini, tidak satupun mengaminkan adanya penghapusan utang atau kredit.
Pihaknya, kàta dia, berkordinasi dengan YLKI Jogja, Aceh dan YLKI Pusat minta informasi penghapusan dan masukan terkait penghapusan utang.
"Informasi YLKI Aceh dan YLKI Jogja penghapusan atau pemutihan tidak serta merta dilakukan dengan cepat. Jogja butuh waktu 7 tahun baru dapat dihapuskan, nilainya Rp 9,6 miliar," kata dia.
Dia mengatakan, untuk Sulteng belum dapat informasi berapa nilai kerugian yang dialami tiap lembaga perbankan dan jasa keuangan lainya.
"Dilansir BPBD, akibat gempa total kerugian ditaksir Rp 18 Triliun. Kerugian terkait perbankan belum ada," katanya.
Dia menambahkan, sejak awal pada saat kontrak perjanjian ditandatangani sudah lemah secara hukum. Undang-undang perlindungan konsumen sudah menegaskan perjanjian dibuat secara sepihak batal demi hukum.
"Hasil penelusuran, 80 persen isi kontrak itu eksploitasi kewajiban konsumen, hak kita kecil," katanya.
Sementara Kepala Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Tengah, Syaifudin Lahase mengatakan, OJK berdiri untuk mengawasi Bank karena ada dana masyarakat, di dalamnya ada tabungan dan deposito, ada tanggung jawab moral.
Dia mengatakan, Kita melihat aset bank misalnya Rp10 Triliun, modal disetor pemegang saham Rp5 Triliun. Dana Rp5 Triliun itu merupakan dana masyrakat.
"Bisnis Bank adalah bisnis kepercayaan menerima dana masyarakat dan menyalurkan kepada masyrakat," katanya.
Dia mengatakan, apabila kredit ini macet Bank tidak bisa membayar bunga tabungan dan deposito kepada masyarakat.
Sehingga kata dia, bank membuat aturan-aturan karena ada tanggungjawab membayar bunga kepada tabungan dan deposito masyarakat.
"Misalnya kredit tidak dibayar, akibat bencana, bank tersebut akan rugi," katanya.
Terkait permasalahan pemutihan utang tersebut, kata dia, seperti keputusan OJK sebelumnya, penundaan selama tiga tahun.
Anggota Panja Penghapusan Utang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tengah, Muharram Nurdin, mengatakan, soal upaya penghapusan utang ini adalah perjuangan panjang.
"Dan tidak bisa kita nikmati hasilnya dengan instan. Karena setelah mempelajari beberapa dokumen, ternyata posisi debitur ini sangat lemah sekali," kata Wakil Ketua DPR Sulteng ini.
Meskipun sebenarnya, tahun 1958 dan tahun 1983 Mahkamah Agung RI pernah mengeluarkan putusan isinya bisa menguntungkan. Akan tetapi kemudian BI mengeluarkan peraturan tahun 2012, kembali debitur pada posisi sangat lemah.
Faktanya, sekarang bisa dilihat di Sulteng, khususnya Palu, Sigi dan Donggala, keadaan posisi yang lemah, padahal ada keadaan yang memaksa diluar kemampuan debitur untuk melaksanakan kewajibanya sebagai sebuah prestasi.
"Tetapi hal ini tidak dihitung oleh kebijakan dikeluarkan Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," katanya.
Dia menambahkan, BI mengeluarkan Peraturan tahun 2012, sehubungan dengan peristiwa di Aceh, bahwa penghapusan atau pemberian relaksasi terhadap debitur itu, tergantung pada Banknya.
Kemudian kata dia, OJK mengeluarkan peraturan hanya relaksasi dua tahun untuk menunda pembayaran, bisa menyimpan bom waktu bagi debitur.
"Hal ini sama sekali tidak ada keringanan khusus, paling tidak utang dibawah Rp500 Juta relaksasinya paling tidak tiada bunga, nanti 10 tahun kemudian baru bayar pokok pinjaman, tapi pertaturan OJK tidak seperti itu," ujarnya.