Menyoal Kasus Pencemaran Sungai Malinau dan Sanksi bagi Perusahaan Batubara
- Pada awal Februari lalu, tanggul kolam limbah perusahaan batubara PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) di Malinau, Kalimantan Utara, jebol dan mencemari Sungai Malinau dan Sesayap. DPD perwakilan Kaltara, telah menyurati KLHK, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Kapolri seminggu setelah tanggul jebol.
- Pada 10 Februari 2021, Pemerintah Kabupaten Malinau mengeluarkan sanksi. Dalam SK Nomor 660.5/K/.86/2021 tentang sanksi paksaan pemerintah kepada perusahaan, pemkab meminta perusahaan melakukan perbaikan tanggul, penimbunan tanah, melibatkan tenaga ahli kompeten untuk mengatasi limbah. Juga, mengganti ikan mati, membuat sistem penanganan dini penanganan tanggul jebol serta inspeksi tanggul secara berkala.
- Jatam menilai, sanksi ini lemah. “Ini bukan sanksi namanya tetapi rekomendasi.” Saat tanggul kolam pengendapan di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses (BMS) jebol pada 4 Juli 2017, perusahaan mendapat sanksi pemberhentian operasi selama 60 hari dan harus menandatangani kesepakatan yang menyatakan kalau hal sama terjadi lagi izin perusahaan akan dicabut.
- Ahmad Ashov dari Bersihkan Indonesia mengatakan, pemerintah, harus melihat sekalipun perusahaan mau memulihkan lingkungan hidup, tak akan bisa pulih seperti semula. Karena itu, pendekatan pencegahanlah yang harus dilakukan diikuti penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera.
Aji Mirni Mawarni, masih ingat kala membawa sejumlah wartawan melihat langsung tanggul limbah batubara milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) jebol di Sungai Bendili, Kutai Timur, pada 2014.
Saat itu Aji masih Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Saat mendengar tanggul jebol dan mencemari sungai, Aji segera menyurati Dinas Lingkungan Hidup setempat untuk investigasi dan membawa sejumlah wartawan melihat langsung kondisi sungai.
Bantuan media melaporkan langsung kondisi Sungai Malinau saat itu cukup membuat pemerintah pusat dan daerah sepakat memberikan sanksi denda hingga Rp11,39 miliar.
Denda ini kemudian dibayar kepada negara lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat itu, perusahaan juga langsung mendapat proper merah.
“Meskipun uang denda tak pernah sampai ke daerah, setidaknya sejak saat itu KPC tak pernah lagi membuang limbah ke sungai,” kata Aji yang kini jadi anggota DPD asal Kalimantan Utara ini.
Kekuatan investigasi lapangan, kesamaan sikap elemen pemerintah pusat dan daerah serta sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil saat itu, katanya, cukup membuat perusahaan jera.
Aji tak menyangka kejadian serupa terjadi lagi pada Februari 2021. Kali ini, tanggul kolam limbah PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) di Malinau, Kalimantan Utara, jebol dan mencemari Sungai Malinau dan Sesayap. DPD perwakilan Kaltara, telah menyurati KLHK, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Kapolri seminggu setelah tanggul jebol.
Sanksi?
Pada hari sama, 10 Februari, Pemerintah Kabupaten Malinau mengeluarkan sanksi yang ditandatangani Bupati Malinau, Yansen TP. Yansen– saat ini dilantik jadi Wakil Gubernur Kaltara.
Dalam SK Nomor 660.5/K/.86/2021 tentang sanksi paksaan pemerintah kepada perusahaan, pemkab meminta perusahaan melakukan perbaikan tanggul, penimbunan tanah, melibatkan tenaga ahli kompeten untuk mengatasi limbah. Juga, mengganti ikan mati, membuat sistem penanganan dini penanganan tanggul jebol serta inspeksi tanggul secara berkala.
Sanksi ini dinilai tak cukup tegas. “Ini bukan sanksi namanya tetapi rekomendasi. Sanksi 2017, lebih berat dari sekarang, sedangkan dampak yang ditimbulkan saat ini lebih parah dari kasus 2017,” kata Andri Usman dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltara.
Kasus 2017 yang dimaksud Andri adalah saat tanggul kolam pengendapan di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses (BMS) jebol pada 4 Juli 2017. Lokasi ini berdekatan dengan kasus Februari lalu. Saat itu, perusahaan mendapat sanksi pemberhentian operasi selama 60 hari dan harus menandatangani kesepakatan yang menyatakan kalau hal sama terjadi lagi izin perusahaan akan dicabut.
Saat itu, teguran dan penghentian sementara keluar dari Dinas ESDM Kaltara untuk empat perusahaan tambang batubara termasuk KPUC.
Dua puluh dua tahun lalu melalui Undang-Undang No 47/1999 Malinau disebut Bumi Intimung, singkatan dari indah, tertib, makmur dan unggul.
Luas Malinau sekitar 4,2 juta hektar, masih memiliki hutan sekitar 3,9 juta hektar atau sekitar 92,2% dari luas wilayah.
Juli 2005, Marthin Billa, Bupati Malinau saat itu, bahkan mendeklarasikan Malinau sebagai kabupaten konservasi. Empat tahun setelah deklarasi ini, bupati yang sama mengeluarkan 26 izin usaha pertambangan terdiri dari 13 izin emas, satu tembaga dan 18 batubara.
Catatan Jatam, pada 2018, ada empat perusahaan tambang batubara beroperasi, semua di hulu Sungai Malinau yakni PT KPUC, BMS, Mitrabara Adiperdana (MA) dan Artha Math Naha Kramo (AMNK).
AMNK baru menambang 2017. Pemiliknya Artya Fatra Mathin, anggota DPRD Kaltim periode 2009-2014 dari Partai Damai Sejahtera dan 2014-2019 diusung Hanura. Fatra adalah anak Marthin Billa juga kader Golkar.
Sementara BMS dan MA berada di bawah Baramulti Group. Salah satu pemegang saham grup ini adalah Udin Hianggio, mantan Ketua DPRD Kota Tarakan kader Partai Golkar yang menjadi Wakil Gubernur Kaltara 2016-2021.
Bupati Yansen yang memberi sanksi paksaan pada KPUC ini, dulu Sekretaris Daerah Malinau saat Marthin Billa menjabat sebagai gubernur.
“Pada era Yansen TP, dokumen amdal dan izin lingkungan empat perusahaan batubara ini lolos dan bisa beroperasi. Kini Yansen adalah Wakil Gubernur Kaltara periode 2021-2024,” kata Muhammad Jamil dari Jatam Nasional.
Jamil menambahkan, pemilik KPUC adalah Juanda Lesmana juga dikenal dekat dengan Yansen.
Sebetulnya, kata Jamil, banyak peluang penegakan hukum guna memberikan efek jera bagi perusahaan. Mulai dari UU Minerba yang mengatur kewajiban kaidah pertambangan yang baik hingga Peraturan Pemerintah No 55/2010 tentang pembinaan dan pengawasan pertambangan minerba oleh menteri, gubernur, bupati/walikota.
Juga ada Permen ESDM No 26/2018 yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menjatuhkan sanksi administrasi pada perusahaan yang melanggar ketentuan, mulai peringatan hingga pencabutan izin.
Penegak hukum juga bisa menggunakan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memungkinkan pidana untuk kasus perusakan lingkungan hidup.
“Baik Dinas Lingkungan Hidup maupun PDAM tidak bicara soal itu. Bukan soal sungai saja tapi masyarakat lokal sekitar Sungai Malinau, karena ini merusak tatanan kehidupan sungai,” katanya.
Ada juga Peraturan MA No 13/2016 tentang tata cara penanganan pidana korporasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Kalau melihat perjanjian 4 Juli 2017, kata Jamil, KPUC juga bisa kena pasal wanprestasi atas kesepakatan bersama yang telah tertuang dalam akte notaris. Hal itu, katanya, bisa menjadi dasar evaluasi dan cabut izin di hulu badan daerah aliran Sungai Malinau.
“Dengan Peraturan MA ini harusnya Kapolda Kaltara tak bingung lagi. Sekarang masalahnya mau atau tidak. Itu yang kita tunggu, karena metode sudah jelas tinggal menunggu komitmen saja.”
Pengupasan lahan dan hutan untuk pertambangan batubara di Malinau. Foto: Hendar/Mongabay Indonesia
Dampak hulu ke hilir
Dari kasus pencemaran Sungai Malinau ini, Ahmad Ashov dari Bersihkan Indonesia menyoroti, kejahatan korporasi yang terus berulang dengan pertanggungjawaban yang tak jelas.
Kejahatan korporasi, katanya, mulai dengan penutupan akses terhadap sumber daya alam yang kemudian berdampak luas terhadap sosial, ekonomi, lingkungan masyarakat. Konflik agraria pun sering terjadi mulai dari hulu ke hilir.
Untuk tambang batubara, konflik rentan terjadi di wilayah pengerukan batubara hingga ke pembangunan PLTU. Dia mencontohkan. kasus pencaplokan tanah dan lahan masyarakat di Kalimantan Timur untuk tambang batubara hingga pelanggaran tata ruang, seperti di kawasan karst Meratus, Kalimantan Selatan.
Aktivitas tambang tak hanya menyebabkan pencemaran seperti di Malinau, kata Ashov, seringkali diikuti kriminalisasi. Kemudian juga terjadi pencemaran air yang berdampak pada ketahanan pangan maupun ekonomi masyarakat. Belum lagi masalah penggusuran kampung dan perampasan baik tanah ulayat maupun tanah warga.
“Jika dilihat lebih dalam tentu juga berdampak pada kesehatan yang berujung pada kemiskinan dan penurunan kualitas hidup,” katanya.
Anomali terjadi di wilayah sekitar tambang, di mana daerah dengan batubara dikeruk mayoritas kemiskinan tinggi. Bencana dalam berbagai skala terjadi dan menimpa banyak orang seperti di Kalimantan Selatan awal 2021 ini.
Di hilir, katanya, pembangunan PLTU seringkali berdiri dengan melanggar hak masyarakat melalui perampasan lahan, pencemaran limbah dan jangka panjang berdampak kronis terhadap kesehatan.
“Ada hubungan juga antara pembakaran batubara dengan kerentanan terhadap infeksi COVID-19,” kata Ashov.
Secara global, industri batubara juga sedang mengalami ancaman serius dari segi keuangan. Di dalam negeri, revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja dibentuk sebagai penyelamatan terhadap korporasi yang justru menimbulkan banyak dampak negatif.
Lantas apa yang harus dilakukan dan bagaimana mitigasi?
“Biarkan [bahan tambang] tetap di dalam tanah. Karena kita sudah tau dampaknya,” kata Ashov.
Mitigasi terbaik, katanya, dengan tidak menggali batubara dan menyiapkan transisi energi dan ekonomi agar tak lagi bergantung energi fosil.
Pemerintah, katanya, harus melihat sekalipun perusahaan mau memulihkan lingkungan hidup, tak akan bisa pulih seperti semula. Karena itu, pendekatan pencegahanlah yang harus dilakukan diikuti penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera.
“Harus ada konsekuensi dari pencemaran. Pencemar membayar. Di kasus Malinau, pesan ini tidak kuat.”
Kalau kebijakan pemerintah masih tak bersama kepentingan rakyat banyak, kata Ashov, potensi konflik agraria, pencemaran, kriminalisasi akan terus meningkat.
Sisi lain, perlu juga dilihat bagaimana lembaga keuangan baik nasional maupun internasional menyokong kerusakan lingkungan.
Laporan lembaga yang berbasis di Jerman baru-baru ini menunjukkan, ada enam bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. Keenam bank nasional itu yakni Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Koordinator Responsi Bank, AH Maftuchan, total pinjaman senilai US$6,29 miliar atau Rp89 triliun dan underwriting atau penjaminan emisi US$2,64 miliar atau Rp16,6 triliun.
Padahal, katanya, saat ini dengan ada tren pembiayaan berkelanjutan (sustainability finance), lembaga keuangan diharapkan mulai mengalihkan pendanaan ke industri lebih berkelanjutan. Batubara, katanya, salah satu energi menghasilkan emisi dan banyak investor global mulai menyatakan tidak akan lagi membiayai batubara baik di hulu maupun PLTU batubara.
Kata Maftuchan, bank nasional ini memberi pendanaan kepada perusahaan tambang batubara dan PLN yang juga menggunakan batubara sebagai bahan bakar listrik.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan roadmap keuangan berkelanjutan tahap II, yang bisa menjadi acuan bagi lembaga keuangan beralih ke bisnis lebih berkelanjutan dengan menerapkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
“OJK mengembangkan ekosistem keuangan berkelanjutan yang meliputi kebijakan, produk, infrastruktur pasar, koordinasi kementerian/lembaga, dukungan non pemerintah, sumber daya manusia, dan awareness,” katanya.
Ekosistem yang dibentuk, katanya, diharapkan memberi insentif bagi lembaga keuangan mulai berinvestasi di keuangan berkelanjutan.
“Bank dan lembaga penjamin perlu mulai memikirkan untuk mengurangi pembiayaan terhadap industri batubara demi melindungi bumi untuk anak cucu ke depan,” kata Maftuchan.
Dwi Sawung, Koordinator Kampanye Walhi mengatakan, sektor batubara masih menjadi sumber pendapatan industri keuangan Indonesia, walaupun pernah menjadi non-performing loan terbesar beberapa tahun lalu.
“Industri keuangan Indonesia masih belum juga memperhatikan kelestarian lingkungan khusus sektor yang menyebabkan perubahan iklim. Padahal, dampak perubahan iklim ini akan mempengaruhi konsumen dari industri perbankan sendiri,” katanya.
Industri keuangan Indonesia, kata Sawung, juga belum memiliki peta jalan kapan mengakhiri investasi mereka di industri energi kotor batubara.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menambahkan, roadmap keuangan berkelanjutan harus jelas secara teknis dan penting untuk melibatkan sejumlah pihak yang masih memiliki ketertarikan terhadap energi fosil seperti KESDM, Dewan Energi Nasional dan lembaga terkait.
“Tujuannya, transisi pembiayaan lembaga keuangan misal, energi fosil ke energi lebih berkelanjutan seperti energi terbarukan dapat secara komprehensif dan terintegrasi. Jika, hanya mengandalkan roadmap-nya OJK, akan sulit tercapai.”
Sumber: Mongobay