Upaya Optimalisasi Green Financing dalam Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia
Upaya Optimalisasi Green Financing dalam Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia
Upaya Optimalisasi Green Financing dalam Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia
Green Financing mempromosikan dan mendukung aliran instrumen keuangan dan layanan terkait menuju pengembangan dan implementasi model bisnis, investasi, perdagangan, proyek dan kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Sektor keuangan memainkan peran kunci melalui fungsi intermediasi dan manajemen risikonya dalam memajukan pembangunan berkelanjutan (Indonesia Water Portal, 2021). Hal ini berlaku demikian sebagai bentuk perwujudan pembangunan berkelanjutan, sektor keuangan menjadi stimulus dalam pemberian pembiayaan kepada proyek. Bank sebagai salah satu pelaku industri keuangan tidak dapat dikatakan sebagai kontributor yang besar dalam perusakan lingkungan. Perbankan dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak melibatkan penggunaan energi, air, dan sumber daya lainnya terlalu besar. Akan tetapi, perbankan tidak dapat lepas atas permasalahan lingkungan hidup dengan pemberian pembiayaan kepada pelaku usaha (Perkumpulan Prakarsa, 2014).
Bank melalui pembiayaannya bertanggung jawab atas pemberian pembiayaan kepada pelaku usaha yang memberikan dampak terhadap lingkungan. Hal ini menimbulkan adanya domino effect dengan bank memberikan pembiayaan atas pelaku usaha yang tidak memperhatikan lingkungan. Dengan demikian, dalam menjalankan proyeknya, para pelaku usaha dapat berpotensi melakukan aktivitas yang meningkatkan degradasi lingkungan. Pada masa lalu, pihak yang bertanggung jawab atas dampak lingkungan hidup hanyalah para pelaku usaha. Sedangkan bank sebagai pihak yang memberikan pembiayaan, terbebas atas tanggung jawab tersebut. Dengan mulai berkembangnya isu pembangunan berkelanjutan, bank seharusnya turut serta dalam menekan kerusakan lingkungan.
Status Quo Penerapan Green Financing dalam Sektor Perbankan di Indonesia
Pada UUPPLH, tertuang secara implisit kewajiban yang menjadi acuan dalam pengaturan pembiayaan Green Financing di Indonesia, pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) bahwa: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
Regulasi lainnya yang menjadi dasar berjalannya Green Financing dikeluarkan oleh OJK melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. POJK tersebut secara implisit telah menetapkan bahwa dalam menilai kualitas kredit, bank perlu mencermati upaya dalam rangka memelihara lingkungan hidup yang dilakukan debitur, yaitu memperhatikan komponen potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan dari kelompok usaha, dan upaya yang dilakukan debitur untuk memelihara lingkungan hidup. Dalam POJK tersebut, tercantum pernyataan kesadaran dan pengakuan serta penegasan bahwa kewajiban yang tercantum dalam UUPPLH juga merupakan kewajiban bank yang harus dipatuhi. Ketentuan tersebut, jelas bahwa setiap kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan, haruslah mendapatkan izin dari Pemerintah sebelum melakukan kegiatan usahanya. Izin ini pula yang harus dimintakan oleh bank sebelum menyetujui kreditnya (Ajeng Radyati, 2014).
UU Perbankan secara implisit juga telah mencantumkan kewajiban perbankan di Indonesia untuk melaksanakan Green Financing sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dalam Penjelasan Umumnya bahwa: “Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk didalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi.”. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka 5 pada Pasal 8 ayat (1) dikatakan: “Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
Dalam penetapan kualitas kredit yang dilakukan perbankan, prinsip kehati-hatian diterapkan terhadap analisis faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar. Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan dari grup atau afiliasi, dan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup (Yenni Hendiani, 2006). Dengan demikian, bank sebagai lembaga intermediasi menjalankan kegiatan usahanya berkewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian ini yang tidak luput juga untuk memperhatikan sisi lingkungan hidup. Bank dalam memberikan pembiayaan kredit secara implisit, melalui regulasi yang sudah ada, didorong untuk menilai kegiatan usaha yang peduli terhadap lingkungan hidup.
Meskipun sudah terdapat beberapa pengaturan Green Financing di Indonesia, masih belum ada satu peraturan yang memberikan kewajiban secara eksplisit atas kewajiban bank dalam memberikan pembiayaan kredit. Pengaturan di Indonesia masih mengatur secara implisit terkait hak dan kewajiban debitur serta kreditur dalam memperhatikan lingkungan hidup.
Upaya Sektor Perbankan dan Industri dalam Optimalisasi Green Financing
Sektor perbankan yang berfungsi untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat harus tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (Diah Pradhani & Zulfika Ikrardini, 2020). Apabila seluruh sektor industri yang dibiayai oleh bank tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka pembiayaan oleh bank tersebut diharapkan juga akan meningkat. Oleh karena itu, upaya yang dapat ditempuh sektor perbankan untuk mengoptimalisasikan Green Financing, antara lain:
- Penyelidikan Pendahuluan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/9/UKU Tahun 1989 telah mewajibkan bank untuk melakukan AMDAL pada penilaian pemberian kreditnya bagi perusahaan berisiko tinggi. Lebih lanjut, dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu memberikan syarat bagi sektor industri untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari pembangunan proyek dengan melihat apakah sektor industri memiliki plant treatment untuk mencegah kerusakan lingkungan atau tidak. Misalnya, bank dapat menolak proposal permohonan pengajuan kredit apabila suatu proyek tidak memiliki sarana pengolahan limbah yang baik (Anne Theresia, 2009). Meskipun AMDAL telah menjadi salah satu dokumen yang diwajibkan untuk mengajukan kredit, tetapi kurangnya pengetahuan aparat bank untuk memproses seluk beluk dan kegunaan AMDAL membuat AMDAL menjadi tidak efektif sebagai syarat pengajuan kredit (Anne Theresia, 2009). Oleh karena itu, sektor perbankan perlu mengupayakan untuk menempatkan tenaga ahli yang mengetahui penanganan kualitas lingkungan dalam suatu proyek pembangunan melalui AMDAL (Anne Theresia, 2009). - Audit Lingkungan
Audit lingkungan yang diatur pada UUPPLH sebagai bentuk tanggung jawab kepada negara, sedangkan yang dibutuhkan oleh perbankan adalah auditor lingkungan hidup khusus di dalam perbankan. Auditor tersebut nantinya bertanggung jawab untuk menentukan apakah debitur layak untuk diberikan kredit atas evaluasi yang dilakukannya. Jika setiap bank diwajibkan memiliki auditor lingkungan hidup, setiap pembiayaan yang diberikan oleh bank akan meminimalisir dampak kerusakan terhadap lingkungan. Perlunya pengaturan lebih lanjut dalam audit lingkungan di dalam perbankan agar Green Financing dalam pembiayaan proyek dapat optimal dilakukan. - Perjanjian Kredit
Untuk mengoptimalisasi Green Financing, pencantuman klausul-klausul lingkungan hidup (environmental provisions) sangat dianjurkan untuk melaksanakan kewajiban dan peranan bank untuk mengelola lingkungan hidup. Namun, pencantuman klausul environmental provisions sampai saat ini sulit untuk dilakukan karena banyaknya kendala yang dihadapi oleh sektor perbankan. Kendala internal yang dihadapi adalah tidak ada kebijakan pengkreditan bank yang yang mengatur secara tegas untuk perlunya dicantumkan klausul yang memperhatikan aspek lingkungan (Anne Theresia, 2009). Sementara dari kendala eksternal yang dihadapi adalah persaingan antar bank yang cukup alot karena bank yang menerapkan syarat untuk memperhatikan aspek lingkungan dalam pemberian kredit tidak banyak diminati oleh nasabah sehingga banyak bank yang kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pemberian kreditnya karena khawatir akan kehilangan nasabah (Anne Theresia, 2009). Padahal, pencantuman environmental provisions dapat ditujukan menunjang klausul wanprestasi bahwa apabila debitur tidak melaksanakan salah satu dari kewajiban, larangan-larangan, syarat-syarat, dan/atau ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit, maka bank berhak secara sepihak dapat membatalkan perjanjian sekaligus menuntut ganti prestasi berupa debit pinjaman dari debitur. - Green Financial Technology
Green Financial Technology (Green Fintech) merupakan metode solusi teknologi digital untuk mengubah industri jasa keuangan (IJK) menjadi ramah bagi lingkungan (Daniel Lincoln, 2021). Tujuan dari Green Fintech adalah mengurangi dampak operasional terhadap lingkungan demi mengurangi emisi karbon (Katadata, 2022). Namun, tidak seluruh bank telah menggunakan teknologi digital sebagai proses pengajuan kreditnya. Padahal, implementasi Green Fintech dapat dilihat dari data proses transaksi masyarakat Indonesia yang menggunakan ekosistem perbankan digital melalui mobile banking daripada uang tunai meningkat signifikan dari 57 persen pada tahun 2017 menjadi 78 persen pada tahun 2021 (Katadata, 2022). Salah satu bank komersial di Indonesia, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) pun mengalami peningkatan total penyaluran kredit yang signifikan, yaitu tumbuh 7,43 persen secara tahunan menjadi sebesar Rp1.075,93 triliun pada tahun 2022 (Herlina Kartika, 2022).
Selain upaya dari sektor perbankan, perlu ada kontribusi dari sektor industri untuk memaksimalkan implementasi Green Financing. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sektor industri adalah melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Berdasarkan konsep triple bottom line, bisnis yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya berorientasi untuk mencari keuntungan, melainkan juga memiliki tata kelola yang baik, mampu mensejahterakan masyarakat, memiliki etika bisnis, dan mampu menjamin keberlangsungan lingkungan hidup (Devi & Kunradus, 2019). Pelaksanaan CSR oleh sektor industri sebagai pelaku usaha yang memiliki kontribusi pada keberlangsungan dan keberlanjutan lingkungan hidup akan meningkatkan intensitas perusahaan untuk mendapatkan penyaluran modal perbankan dalam Konsep Keuangan Berkelanjutan (KKB) (Fatkhul Maskur, 2022). Pasalnya, konsep tersebut merupakan bagian dari program CSR IJK, terkhusus perbankan karena melalui KKB, pihak perbankan akan sekaligus mendorong pelaku usaha di sektor industri untuk berkontribusi dalam keberlanjutan lingkungan.
Kesimpulan
Sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, sektor perbankan memegang peranan penting untuk mengoptimalisasikan Green Financing atas pemberian pembiayaan kepada pelaku usaha yang memberikan dampak terhadap lingkungan. Akan tetapi, status a quo Green Financing dalam tatanan hukum di Indonesia masih belum memberikan kepastian hukum bagi sektor perbankan untuk mengoptimalisasikan Green Financing dalam aktivitas pembiayaannya. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya dari sektor perbankan dalam prosedur perkreditannya, seperti penyelidikan pendahuluan, audit lingkungan, perjanjian kredit, serta Green Fintech. Tak hanya sektor perbankan, pelaku usaha sebagai pihak yang yang menerima pembiayaan dari bank juga perlu mengupayakan optimalisasi Green Financing, seperti adanya CSR lingkungan hidup.
Sumber: KlikLegal.com
Penulis : Anisa Fitri Wibowo, Aprilia Icha Radevi, Raihan Jaisy Kamal, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.