Protes Bermunculan Jelang IMF-World Bank Annual Meeting

06 Oktober 2018

DENPASAR – Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi gelaran IMF-World Bank Annual Meeting yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, tanggal 12-14 Oktober 2018.

Kegiatan ini merupakan pertemuan tahunan yang diselenggarakan oleh Dewan Gubernur IMF dan World Bank. Diperkirakan 12.000-15.000 orang akan hadir, mulai dari perwakilan pemerintah, swasta, akademisi hingga organisasi masyarakat sipil (CSO) dari banyak negara.

Menyikapi penyelenggaraan event besar ini beberapa Civil Society Organizations (CSOs) Indonesia dan global, berinisiatif menggelar The People’s Summit on Alternative Development yang akan diselenggarakan tanggal 8-10 Oktober 2018 di Sanur, Bali.

Dalam konferensi pers yang digelar di Kubu Kopi, Denpasar Sabtu (6/10), Hamong Santono dari INFID yang sekaligus koordinator acara People’s Summit menyatakan gagasan besar People’s Summit ini menuntut akuntabilitas Lembaga Keuangan Internasional khususnya Bank Dunia dan IMF.

“Kedua lembaga tersebut memiliki sejarah panjang dalam proses pembangunan di Indonesia. Hutang yang diberikan oleh Bank Dunia seringkali berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan, namun tidak ada penyelesaian yang bermakna untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.

Secara khusus Hamong Santono juga menyampaikan pendapatnya tentang kepentingan Indonesia yang perlu diperjuangkan agar penyelenggaraan IMF-World Bank Annual Meeting benar-benar memberi manfaat bagi Indonesia.

Menurutnya pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan pertemuan IMF-WB untuk mendorong isu-isu besar yang tidak mampu diselesaikan oleh Indonesia sendiri, semisal illicit financial flow dan asset recovery.

Hal senada juga disampaikan oleh Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia. Katanya, selama hampir 50 tahun WB-IMF beroperasi di Indonesia, belum pernah terjadi proses yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

“Lihat saja kasus pembangunan dam di Kedungombo, kebijakan WATSAL, maupun rekomendasi-rekomendasi IMF ke pemerintah Indonesia lewat rangkaian LoI (Letter of Intent) masih memiliki dampak negatif sampai sekarang,” tuturnya.

Suriadi Darmoko dari WALHI Bali menambahkan bahwa agenda international di Bali ini memberikan dampak negative paling tidak terhadap dua hal. Pertama, marakanya tindakan represif berupa penghancuran baliho-baliho tolak reklamasi Teluk Benoa, Batalkan Perpres Nomor 51 Tahun 2014.

“Ini tidak hanya terjadi di jalan-jalan protocol tapi juga di jalan-jalan desa yang tidak dilalui oleh delegasi WB-IMF,” ujarnya.

Kedua, lanjutnya, pertemuan internasional yang dilaksanakan di Bali semacam WB-IMF acapkali dijadikan kedok untuk percepatan proyek-proyek skala besar.

“Proyek yang difasilitasi tersebut pada umumnya adalah proyek yang terindikasi melanggar aturan, seperti misalnya perluasan bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi” tandasnya.

Sementara itu, Andi Mutaqqin dari ELSAM, menyatakan bahwa Bank Dunia akan menerapkan kebijakan perlindungan (safeguards) yang sudah efektif 1 Oktober ini bernama ESF (Environmental Social Framework).

Kebijakan baru ini berpotensi untuk menimbulkan praktik-praktik pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan, karena kebijakan-kebijakan utang dan konsekuensi proyeknya akan mengikuti hukum nasional yang standarnya belum cukup memberikan perlindungan terhadap masyarakat terdampak dan lingkungan hidup.

“Berkali-kali menuai kritik, tak membuat Bank Dunia mundur dari rencananya menerapkan sistem baru ini. Bagaimana jika standar hukum nasionalnya jauh di bawah standar safeguards Bank Dunia”, tanya Andi.

Sementara, Ah Maftuchan, Direktur Perkumpulan Prakarsa menyayangkan pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah, berlaku eksklusif. Seharusnya agenda dan prosesnya terbuka untuk publik. Lebih jauh Maftuch menyatakan The People’s Summit akan memberikan ruang bagi CSOs untuk berdiskusi, memberikan kritik, dan saran secara lebih proporsional serta berbasis bukti.

People’s Summit on Alternative Development dalam penyelenggaraannya mencoba merangkul sebanyak mungkin suara yang merefleksikan pandangan tentang Bank Dunia/IMF serta dampak aktivitasnya.

Hadir pula dalam konferensi pers ini, Mike dari Band Marjinal-Taring Babi yang turut menjadi salah satu penyelenggara acara People Summit juga secara keras mengkritisi utang. “Pada hari ini kita harus menyadari bahwa utang hari ini adalah utang sejarah,” ujarnya.

Lanjutnya, utang ini adalah warisan penguasa yang hanya dinikmati oleh penguasa ke penguasa berikutnya saja, namun rakyat yang harus membayar dan terbeban.

“Seharusnya negeri ini dapat membangun kesejahteraannya dari-untuk-dan-oleh rakyat. Kita harus berhenti gali lobank bikin utang, lagi utang nambah lobank, utang bertambah tak kurang-kurang, rakyat lagi yang jadi korban. Siapapun pemerintahnya, kalau watak dan praktiknya masih sama maka tidak akan ada perubahan,” tutupnya.

sumber : https://terbit.co/protes-bermunculan-jelang-imf-world-bank-annual-meeting/