Sekat Gender dalam Perburuhan Sawit di Kalimantan

22 Maret 2023

Perkebunan sawit di Kalimantan membutuhkan banyak tenaga kerja. Namun, dalam praktiknya, perekrutan hingga hak serta kewajiban pekerjanya terpisahkan karena gender. Lantas, apakah janji kesejahteraan dapat tercapai di samping imbas segregasi yang ditimbulkan?

Semakin hari, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus bertambah. Kementerian Perdagangan RI pada 2013 melaporkan bahwa ekspor sawit berhasil memosisikan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor utama minyak kelapa sawit mentah serta berbagai produk olahannya. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan luas areal perkebunan sawit terbesar di dunia. Laporan dari United States Department of Agriculture pada 2019 menunjukkan bahwa luas lahan tanaman sawit yang menghasilkan di Indonesia mencapai 11,75 juta hektare. Ini berarti luasnya sekitar 49,5 persen dari total lahan dunia yang mencapai 23,74 juta hektare (Trade Union Right Center, 2020). Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI merilis data luas perkebunan sawit di Indonesia yang termuat dalam Laporan Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019–2021. Lahan perkebunan sawit yang dikelola oleh perusahaan besar swasta mencapai 7.942.335 hektare, perusahaan besar negara mencapai 617.501 hektare, dan perkebunan rakyat mencapai 5.896.775 hektare. Menurut laporan yang sama, dari seluruh jumlah perkebunan sawit yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia, Pulau Sumatra memiliki perkebunan sawit terluas di Indonesia, lalu disusul oleh Pulau Kalimantan dan wilayah lainnya.

Perkebunan sawit tentu membutuhkan tenaga kerja. Pengadaan buruh sawit ini dilakukan melalui serangkaian pola perekrutan. Pujo Semedi dan Tania Murray Li dalam bukunya yang berjudul Plantation Life: Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone (2021) mengambil studi kasus di perkebunan sawit Natco dan Priva yang terletak di Kalimantan Barat. Dalam buku itu, keduanya menunjukkan bahwa ketika perekrutan pekerja dilakukan, salah satunya akan disaring berdasarkan gender. Skema perekrutan berdasarkan gender terjadi karena perusahaan perkebunan lebih suka merekrut buruh lokal perempuan Dayak dan Melayu. Perempuan Dayak dan Melayu itu direkrut karena dianggap lebih mudah diatur dan tidak banyak menimbulkan masalah. 

Kerja-Kerja Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit

Persoalan mendasar dalam upaya pengadaan buruh sawit di perkebunan sawit Kalimantan, yaitu terdapat segregasi berdasarkan gender. Di industri kelapa sawit, khususnya di tingkat perkebunan, segregasi gender merupakan prinsip pembeda dalam pembagian kerja di perkebunan (Siyamitri, 2009). Dalam kasus di wilayah Kalimantan, buruh sawit perempuan direkrut dari penduduk lokal tempatan dan pekerja transmigran dari Jawa, Sumatra, dan Nusa Tenggara. Korporasi perkebunan sawit juga lebih banyak mempekerjakan perempuan sebagai buruh harian lepas (BHL).

Salah satu alasan perempuan lebih banyak menjadi BHL di perkebunan sawit adalah tingginya tuntutan hasil panen dari perusahaan. Para pekerja wajib membersihkan satu tumpuk jangkos yang beratnya kurang lebih 8-10 ton untuk mendapatkan upah Rp. 119.000 per satu harian kerja. Jika tidak memenuhi target, mereka hanya akan dibayar untuk upah setengah hari kerja walaupun mereka sudah bekerja di atas tujuh jam. Hal ini menyebabkan di hari-hari tertentu para buruh perempuan harus membantu suami mereka. Sebagian besar perawatan perkebunan dikerjakan oleh perempuan lokal tak bertanah sebagai BHL tanpa jaminan kerja (Semedi & Tania Li, 2015). Mereka tinggal di kampung-kampung enklave ‘daerah kantong’ yang dikelilingi oleh perkebunan sehingga bekerja di perkebunan menjadi satu-satunya pilihan bagi para buruh perempuan. Para buruh perempuan tidak lagi memiliki lahan sejak kedatangan perkebunan kelapa sawit yang mengambil alih lahan karet dan padi mereka.

Perempuan lokal yang bekerja di perkebunan mendapatkan upah yang sangat rendah. Upah BHL di salah satu perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat adalah Rp 95.000 per hari. Apabila dikalkulasikan dalam sebulan dengan 15 hari kerja,  pendapatan para BHL dalam sebulan berkisar antara 1,42 juta rupiah. Gaji tersebut masih di bawah upah minimum Provinsi Kalimantan Barat dan tidak sebanding dengan risiko kerja yang tinggi, seperti menyemprotkan pestisida dan menyebarkan pupuk kimia. Di Kalimantan Barat, Aminah dan rekan-rekannya sesama buruh pupuk biasanya langsung pulang ke rumah selepas bekerja. Di rumah, mereka baru bisa membersihkan sisa-sisa pupuk yang menempel di pakaian dan badan mereka karena di perkebunan tidak disediakan rumah bilas. Oleh karena itu, Koalisi Buruh Sawit menganggap bahwa masih ada ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa para buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit (Pratiwi, 2020). Buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit menghadapi persoalan yang diakibatkan oleh konstruksi sosial atas identitas gendernya yang termanifestasi dalam konteks kerja (TURC, 2018).

Dalam  The Origin of the Family, Private Property and the State, Friedrich Engels menjelaskan bagaimana konstruksi sosial perempuan dalam konteks kerja dapat terjadi. Ia mendasarkan argumennya melalui temuan Lewis Henry Morgan tentang tiga zaman utama dalam evolusi sosial. Evolusi sosial meliputi zaman savagery ‘kebiadaban’, barbarism ‘barbarisme’, dan civilisation ‘peradaban’. Dari masa kebiadaban sampai terciptanya peradaban, gaya hidup manusia telah berevolusi dari nomaden ke gaya hidup menetap. Pada tahap kebiadaban, budaya matrilineal lebih dominan karena pernikahan belum dikenal sehingga sistem kekerabatan didasarkan pada klan ibu. Kemudian, di tahap barbarisme yang ditandai dengan munculnya domestikasi hewan, kepemilikan atas kekayaan bergeser dari kepemilikan klan (gens) menjadi kepemilikan pribadi dalam sebuah keluarga. Di tahap inilah garis kekerabatan mulai bergeser dari matrilineal ke patrilineal yang lebih menekankan pentingnya ayah. 

Dalam kedua rentang zaman itu, ketidaksetaraan gender mulai muncul yang terwujud dalam pembagian jenis pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki melakukan pekerjaan untuk berburu dan bertani, sementara perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik. Lantas, berburu dan bertani menjadi pekerjaan yang lebih produktif dibandingkan pekerjaan domestik. Dengan demikian, peningkatan kekayaan yang dialami oleh laki-laki memberinya status yang lebih tinggi. 

Asal muasal opresi perempuan pun dipercaya terus terkonsolidasi dan terwujud secara penuh pada zaman peradaban. Faktor produktivitas menjadi penentu dalam hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan. Sejak penggunaan mesin-mesin produksi pada pabrik tekstil, telah terjadi peralihan tenaga kerja dari manusia ke mesin (Wulansari, 2018). Pengoperasian mesin tekstil juga dianggap tidak membutuhkan tenaga yang besar sehingga pekerjaan untuk mengoperasikannya dialihkan dari laki-laki ke perempuan. Namun, posisi ini membuat perempuan justru semakin teropresi dan menjadi objek para kapitalis. Hal ini terjadi ketika mereka hanya mendapatkan upah yang rendah di samping beban ganda yang juga dipikul dalam mengurus rumah tangga.  

Tidak terkecuali para buruh perempuan di perkebunan dengan beban yang lebih besar dibandingkan tekstil. Catatan sejarah tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan konteks buruh perkebunan sawit yang dibayar murah, padahal memiliki beban yang lebih berat dan tugas yang sama dengan laki-laki. Sementara saat ini, berdasarkan publikasi International Labour Organization tahun 2020, permasalahan umum di sektor kelapa sawit di antaranya praktik hubungan kerja tidak standar, upah rendah, dan pelanggaran upah. Perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah dibanding laki-laki. Pekerja perempuan cenderung direndahkan yang berdampak pada penentuan tingkat upah bagi perempuan.

Imbas-Imbas Segregasi Gender dalam Pengadaaan Buruh Sawit 

Para pekerja perempuan ini biasanya ditempatkan di bagian pemeliharaan dan pembrondol (pekerja yang bertugas mengumpulkan buah kelapa sawit). Selain itu, mekanisme kerja tersebut umumnya dilakukan dengan sistem kerja harian. Oleh karena itu, para pekerja rentan ini cenderung mendapatkan pembagian upah yang rendah. Fenomena tersebut pun didukung dengan data temuan Trade Union Right Centre pada tahun 2020. Dalam hal ini, disebutkan bahwa dalam piramida pembagian upah di perusahaan sawit, BHL menempati posisi paling bawah. Selain itu, perusahan sawit juga lebih memilih menggaet pekerja baru dibandingkan memberikan status sebagai pekerja tetap kepada para pekerja lama (Semedi & Tania Li, 2021).

Sementara itu, pekerja laki-laki mendapatkan pembagian upah yang lebih tinggi serta lebih mudah mendapatkan kontrak kerja tetap (Theresia & Wahyuni, 2021). Laki-laki juga dianggap lebih kuat dalam hal fisik serta beban kerja yang dianggap lebih berat dibandingkan perempuan. Adanya eksklusi ini berdampak pada pekerja perempuan kesulitan untuk mendapatkan kontrak kerja tetap. Akibatnya, pekerja perempuan kesulitan mendapatkan hak atau jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan. Padahal, pekerja perempuan memiliki risiko yang berat, seperti kurangnya perlindungan kesehatan dalam bekerja dapat berakibat pada kesehatan reproduksi. Di sisi lain, pekerja perempuan juga tidak lepas dari ancaman kekerasan seksual dalam lingkup kerja. Namun, hal ini tidak diikuti dengan implementasi hukum untuk melindungi pekerja perempuan dari tindak kekerasan seksual itu sendiri

Para buruh perkebunan sawit direkrut dari perempuan yang tidak memiliki tanah, seperti perempuan tempatan dan para pekerja migran. Relasi kuasa yang ada menempatkan perempuan mudah untuk didominasi. Oleh karena itu, para buruh ini mengalami berbagai bentuk permasalahan yang mendorong adanya ketimpangan ekonomi. Buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit mengalami permasalahan mendasar, yaitu beban ganda yang harus dipikul, baik beban domestik dan kerja (Guampe & Kayupa, 2021). Ditambah status kerja yang ambigu sebagai BHL membuat mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak ketenagakerjaan, seperti kartu BPJS dan bantuan sosial lainnya. Mereka juga tidak mendapatkan pembagian hak-hak normatif, seperti cuti haid dan melahirkan karena tidak adanya kontrak kerja yang legal dan tertulis (Muttaqien et al. 2021). 

Status pekerja perempuan sebagai golongan rentan tidak diiringi dengan kegiatan advokasi yang optimum untuk menyuarakan pendapatnya akibat kebijakan dan praktik dalam perkebunan sawit (Azzahra et al, 2019). Hal ini juga dipengaruhi oleh kurangnya partisipasi perempuan dalam serikat pekerja sehingga dalam proses advokasi tidak efektif dan tidak maksimal. Trade Union Right Centre (2020) memaparkan faktor kurangnya partisipasi perempuan dalam serikat pekerja. Hal tersebut disebabkan salah satunya karena adanya intimidasi dari perusahaan yang memberi ancaman terhadap para pekerja yang vokal. Selain itu, kurangnya pemahaman serta edukasi tentang pentingnya serikat pekerja memicu minimnya partisipasi. 

Dalam Tri Dharma perkebunan tercantum peran perkebunan sebagai sumber devisa negara (Jenahar, 2016). Namun, hal ini berbanding terbalik dengan keadaan pekerja sawit perempuan di Kalimantan. Alih-alih betulan memakmurkan pekerja melalui peningkatan penghasilan, keuntungan yang diperoleh hanya menguntungkan segelintir orang. Perusahaan yang cenderung kaku dalam pengadaan kebijakan pekerja dan serikat secara tidak langsung menimbulkan bentuk eksploitasi. Hal ini bisa dilihat baik dalam konteks sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang mengarah pada perbudakan modern. Akibat dari hal tersebut sangat terasa bagi BHL perempuan yang sulit untuk mengatasi ketimpangan yang ada. 

Kesimpulan

Profit tak pelak menjadi kepentingan utama bagi korporasi, termasuk dalam sektor perkebunan sawit. Namun, dalam penerapannya kerap mengabaikan kesejahteraan pekerja serta diselimuti berbagai ketimpangan. Terbengkalainya hak-hak yang harus diterima pekerja sawit menjadi isu penting yang harus diselesaikan. Distribusi pembagian hak-hak yang tidak mencakup semua pekerja terjadi karena status kerja yang kurang jelas. Hal ini paling dirasakan oleh pekerja perempuan yang berdampak pada timpangnya hak-hak yang mereka peroleh. Kondisi kerja yang terjadi di perkebunan sawit Kalimantan jelas menunjukkan adanya pelanggengan opresi terhadap perempuan di atas ketidakberdayaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sementara itu, janji kesejahteraan yang digaungkan sejak awal tak pernah tercapai.

 

Penulis: Lenna Aurelia Amalia, Yosita Pria Agustina, Fiant Lintang Cahyani (Magang)
Penyunting: Najma Alya Jasmine

Kesimpulan

Profit tak pelak menjadi kepentingan utama bagi korporasi, termasuk dalam sektor perkebunan sawit. Namun, dalam penerapannya kerap mengabaikan kesejahteraan pekerja serta diselimuti berbagai ketimpangan. Terbengkalainya hak-hak yang harus diterima pekerja sawit menjadi isu penting yang harus diselesaikan. Distribusi pembagian hak-hak yang tidak mencakup semua pekerja terjadi karena status kerja yang kurang jelas. Hal ini paling dirasakan oleh pekerja perempuan yang berdampak pada timpangnya hak-hak yang mereka peroleh. Kondisi kerja yang terjadi di perkebunan sawit Kalimantan jelas menunjukkan adanya pelanggengan opresi terhadap perempuan di atas ketidakberdayaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sementara itu, janji kesejahteraan yang digaungkan sejak awal tak pernah tercapai.

Penulis: Lenna Aurelia Amalia, Yosita Pria Agustina, Fiant Lintang Cahyani (Magang)
Penyunting: Najma Alya JasmineIllustrator: Embun Dinihari
Illustrator : Embun Dinihari